|
BUKANNYA mendapat kado istimewa, peringatan Hari Air Sedunia 22 Maret lalu malah menyisakan polemik air bersih bagi warga Jakarta. Terjadi perdebatan yang riuh mengenai rencana pembelian aset operator PT Palyja. Aset operator itu, menurut rencana, diambil alih dua badan usaha milik daerah, yakni PT Jakarta Propertindo dan PT Pembangunan Jaya. Wacana ini langsung menuai pro dan kontra. Semua pandangan muncul dengan argumentasinya masing-masing. Di tengah riuh rendah persoalan ini, krisis pasokan air bersih dari jaringan pipa masih terjadi dan akan terjadi entah sampai kapan. Pada akhirnya, situasi memaksa Binar (33) berhenti berlangganan air perpipaan tiga tahun terakhir. Warga RW 004, Cipinang Muara, Jakarta Timur, itu tidak tahan menerima ketidakpastian layanan. Ia kemudian memilih menggunakan air tanah. ”Air PAM keluarnya kecil. Sering kali setelah pukul 12.00 baru air mengalir kencang,” ucapnya. Bukan hanya buruknya layanan, beban biaya yang harus ditanggung warga juga memberatkan, tidak sepadan dengan kualitas layanan yang diterima warga. Setiap bulan Binar mengeluarkan biaya Rp 200.000 untuk kebutuhan air PAM yang dilayani operator Palyja. Berdalih pada kondisi itu, Binar membulatkan diri menggunakan air tanah. Keputusan yang sama ini dilakukan ratusan ribu hingga jutaan warga Jakarta. Keputusan ini sekaligus membuat Ibu Kota semakin akrab dengan bencana ekologis. Penurunan muka air tanah, penurunan muka tanah, dan intrusi air laut memperburuk daya dukung lingkungan. Harapan perbaikan layanan air bersih bertahun-tahun dituntut warga Jakarta. Setelah 16 tahun pelayanan dipegang operator, nyatanya perbaikan layanan masih minim. Tingkat kebocoran air bersih non-revenue water mencapai 41,2 persen. Penambahan pasokan air baku pun sangat lamban dilakukan pemerintah. Sampai akhir pekan lalu, ketika dunia memperingati Hari Air, tidak ada sesuatu yang baru buat warga Jakarta. Yang baru adalah menajamnya polemik tentang pembelian saham Palyja dari tangan swasta ke BUMD DKI Jakarta. Doktrin hukum dan jalan tengah Polemik ini yang menghiasi pemberitaan media satu bulan terakhir. Arif Maulana, salah satu kuasa hukum Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air, mengatakan bahwa tidak ada maksud menghalangi pembelian aset Palyja. Arif berpendapat, penolakan swastanisasi karena amanah Undang-Undang Dasar 1945. ”Air itu bukan untuk dikomersialkan. Pada sisi lain, perjanjian kerja sama antara DKI dan pihak swasta merugikan publik. Doktrin hukum yang kami yakini, perjanjian itu sudah gugur. Maka, kami mengajukan gugatan ke pengadilan,” kata Arif saat ditemui di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Pandangan berbeda disampaikan pegiat anti korupsi Erry Riyana Hardjapamekas. Menurut Erry, dialog bisnis antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Palyja harus dimanfaatkan untuk memperbaiki tata kelola air bersih. Walau begitu, warga yang mengajukan gugatan ke pengadilan patut dihargai. Sebab, bagaimanapun, jerih payah mereka memperkuat posisi tawar pemerintah dalam dialog bisnis. Namun, Erry mengajak semua pihak kembali ke sejarah perjanjian kerja sama dengan swasta yang dibuat tahun 1998. Perjanjian itu dibuat secara sadar oleh pemerintah pada masa itu dan merugikan warga Jakarta. Tidak ada pemaksaan atau hilangnya kesadaran saat perjanjian itu dibuat. Sementara nyata-nyata ada kewajiban pemerintah sesuai dengan perjanjian itu yang tidak dilakukan. ”Pembicaraan bisnis antara DKI dan Palyja menjadi jalan tengah yang baik. Pembicaraan ini menghindari dampak baru setelah akuisisi selesai dilakukan,” kata Erry. Saat ini, cakupan layanan air bersih lewat jaringan pemipaan sebesar 46 persen. Cakupan ini tercatat pada 807.000 pelanggan terdaftar. Namun, 249.000 pelanggan tidak mendapatkan pasokan rutin. Hanya 37 persen dari pelanggan terdaftar itu yang benar-benar menikmati pasokan air bersih. Kebutuhan air bersih sejatinya tidak hanya menjangkau 10,1 juta jiwa warga Jakarta, tetapi juga mampu memenuhi kebutuhan 12 juta warga yang pada siang hari beraktivitas di Ibu Kota. (ART/MKN/NDY) Post Date : 24 Maret 2014 |