|
Jakarta, Kompas - Penganugerahan Adipura kepada
kota/kabupaten kerap menimbulkan protes akibat ketidaksesuaian tujuan
penghargaan dengan kondisi di lapangan. Untuk memperketat penilaian,
persyaratan anugerah bagi kota terbersih pada periode 2012-2013
ditambah.
”Tempat pembuangan akhir (TPA), Gerakan Indonesia Bersih, inovasi daerah dalam penghematan energi dan air, serta kontribusi pada keanekaragaman hayati menjadi bahan penilaian,” kata R Sudirman, Asisten Deputi Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup, Sabtu (2/3), di Jakarta. Ia mengatakan, Adipura digunakan untuk mendorong bupati/walikota serius mengelola lingkungan. ”Setelah ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah tidak boleh lagi ada TPA terbuka (open dumping). Untuk sanitary landfill masih berat. Paling tidak, TPA harus dikelola dengan baik,” katanya. TPA sebaiknya diuruk, tidak mengeluarkan bau busuk, tidak dipenuhi lalat, dan tidak mengganggu masyarakat. Pemantauan KLH, sekitar 100 TPA di Indonesia telah mendekati penimbunan terkelola. Kota/kabupaten penerima Adipura diwajibkan mengolah sedikitnya 7 persen sampah menjadi kompos. Untuk Adipura Kencana, lebih dari 14 persen. Dari 11 lokasi yang diamanatkan dalam komponen Gerakan Indonesia Bersih, baru 6 lokasi sarana prasarana umum yang dinilai. Lokasi tersebut adalah pasar, pelabuhan laut/pela- buhan udara, terminal bus, stasiun kereta, sekolah, dan rumah sakit. Untuk mendapatkan Adipura Kencana, kota/kabupaten diwajibkan melakukan inovasi dalam penghematan energi dan air serta memberi sumbangan terhadap konservasi keanekaragaman hayati. ”Bisa dengan kebijakan menggunakan TPA sebagai penghasil metana untuk bahan bakar rumah tangga. Bisa juga berupa terobosan penggunaan lampu LED,” ujar Sudirman. Sudirman mengatakan, pada pengumuman Adipura 2012- 2013, akan diumumkan pula kota terkotor, yakni kota yang mendapat nilai terendah. Belum didukung Kepala Unit Pengelola Teknis Daerah Pengelolaan Sampah dan Limbah Pontianak, Kalimantan Barat, Awang Widayan, mengatakan, pengelolaan TPA sampah rumit. Penyebabnya, sulit membuat masyarakat bersedia memilah jenis sampah. Lokasi TPA Batu Layang di Pontianak yang dibebani sampah 1.600 meter kubik per hari tak didukung fasilitas layak. Pihaknya telah mengusulkan pembuatan bendungan di sekeliling TPA seluas 26 hektar itu agar air lindi tak meluap saat hujan kepada Pemkot Pontianak dan Kementerian Pekerjaan Umum. Namun, belum terealisasi. ”TPA kami ada di antara Parit (Sungai) Musa dan Parit Madura. Kalau hujan, air lindi meluap dari bak penampungan. Warga sering protes karena lindi mencemari dan mematikan tanaman,” katanya.Post Date : 04 Maret 2013 |