|
Hingga Rabu (27/2), Sungai Batanghari yang meluap belum surut juga. Luapan air bah itu merendam sekitar 200 desa/kelurahan di Kota Jambi, Kabupaten Muaro Jambi, Batanghari, Tebo, Sarolangun, Merangin, dan Kerinci. Renggo (40), warga Desa Pudak, Kecamatan Kumpeh Ulo, Kabupaten Muaro Jambi, merasakan beratnya berhadapan dengan air bah itu. Namun, saat dikunjungi, ia justru melepas jaring tangkul di tangannya. Sejumlah ikan meloncat. Ia beranjak membantu kami memijak kayu melewati hamparan banjir. Genangan air itu berwarna hitam pekat karena bercampur tanah gambut. ”Hati-hati. Saya ngeri kalau kalian terkena gigit ular,” ujarnya. Sejak banjir menggenangi rumahnya hingga ketinggian satu meter, sudah tiga kali dia dan istrinya mendapati ular. Istrinya sampai tidak berani lagi turun ke air. Padahal, sekeliling mereka yang merupakan areal persawahan sudah kebanjiran lebih dari sepekan. Banjir itu bukan karena hujan tak kunjung berhenti, melainkan karena luapan air Sungai Batanghari di kawasan hulu meluas hingga ke hilir. Desa Pudak terletak di hilir. Banjir di Pudak menggenangi persawahan dan masuk ke rumah-rumah warga. Petugas dari Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi membangun tenda darurat di halaman kantor Kecamatan Kumpeh Ulu. Namun, warga tidak mengungsi. Mereka bertahan tinggal di sekitar rumah, termasuk Renggo. Renggo, yang mengetahui air terus meninggi, bukannya mengungsi, melainkan langsung menyelamatkan kasur tipisnya, televisi 14 inci, kompor, peralatan memasak, dan pakaian ke kandang sapinya. Jarak kandang itu sekitar 10 meter dari rumah kayunya, yang berukuran 5 meter x 6 meter. ”Kebetulan sapinya sudah tidak ada lagi. Kami bisa tidur di sini,” katanya. Di kandang itulah Renggo hidup sementara bersama keluarganya. Kasur dipasang di tengah, berjejer dengan kompor. Setumpuk pakaian dijemur pada tali yang terpasang antartiang kandang. Jemuran itu sekaligus untuk menghalangi terpaan air hujan dan angin di malam hari. Kandang itu berukuran 3 meter x 3 meter, tanpa dinding, dan beralas tanah. Atapnya dari seng rongsok. Jika hujan, air menetes ke kasur dan pakaian. Renggo berusaha menghibur kedua anaknya dengan memasang televisi kecil di depan kandang. Menjelang malam, mereka masuk kandang, beristirahat tanpa pelindung kelambu sekalipun. ”Untung masih ada kandang sapi yang posisinya lebih tinggi daripada rumah sehingga dapat menjadi tempat hidup kami sementara,” ujar petani dan pemungut barang rongsok itu. Renggo dan keluarganya tak mau mengungsi ke tenda yang disediakan pemerintah karena harus menjagai tanaman padi yang mulai tumbuh bulirnya. Sawah wajib dijaga. Hal serupa dilakukan Tumirah (35), tetangga Renggo. Dia tidak mengungsi karena harus memberi pakan ternak sapi dan ayamnya. Apalagi, jalan dari rumahnya yang terendam air ke kecamatan juga digenangi air. Menurut Kepala Seksi Tanggap Darurat Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jambi Dalmanto, kondisi Jambi, khususnya Kota Jambi, Siaga 2. Ketinggian muka air Sungai Batanghari di Pos Tanggo Rajo, di depan rumah dinas gubernur Jambi, mencapai 14,30 meter. Kondisi ini bertahan. Penurunan muka air dilaporkan hanya sekitar 10 sentimeter (cm) pada hari Rabu. Sekitar 1.000 tenda darurat didirikan dekat lokasi banjir dan longsor. Kondisi terparah terjadi di Kota Jambi dan Kabupaten Muaro Jambi. Ribuan warga mengungsi di tenda darurat, tetapi ada juga yang bertahan di sekitar rumah mereka. Bertahan di Palangkaraya Selain di Jambi, tahun ini banjir merata di seluruh Indonesia. Ibar (40), warga Jalan Riau, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pun termenung menghadapi air bah yang sudah sepekan menggenangi rumahnya. Ketinggian air sekitar 30 cm. Banjir terjadi karena Sungai Kahayan di dekat rumahnya meluap. Jalan Riau terletak di Kelurahan Pahandut, Kecamatan Pahandut. Di kelurahan itu, sekitar 100 rumah terendam. Permukiman di tepi Sungai Kahayan itu umumnya sudah kebanjiran lebih dari sepekan. Selain Jalan Riau, beberapa perumahan, seperti di Jalan Arut, Jalan Mendawai, dan Jalan Pelatuk I hingga VII, juga terendam sehingga mengganggu aktivitas warga. Kesukaran tak hanya terlihat di sekitar rumah. Pengemudi kendaraan bermotor juga kerepotan. Di Jalan Riau dan Jalan Mendawai, beberapa kendaraan bermotor antre untuk melewati banjir. Pengemudi melaju perlahan agar cipratan air tak mengenai warga sekitar. Mobil pun harus melintas bergantian. ”Banjir terjadi lebih kurang setiap lima tahun. Terakhir kali, banjir di Jalan Riau terjadi pada tahun 2008 dan berlangsung sekitar seminggu,” kata Ibar. Solihin (33), warga Jalan Flamboyan, Palangkaraya, juga mengeluhkan banjir. Jalan di depan rumahnya tergenang dan tidak terlihat dasarnya sama sekali. Ia tidak bisa memperkirakan sampai kapan banjir terjadi. Jalan Flamboyan berada di tepi Sungai Kahayan yang belum diaspal. Jalur itu hanya berupa tanah yang dikeraskan. Jika banjir surut, entah bagaimana keadaan jalan itu. Solihin berharap jalan itu bisa lebih ditinggikan. ”Agar kendaraan bermotor bisa lewat. Tak seperti sekarang, jalan mudah terendam,” ujarnya. Rasyid Isa (66), warga Jalan Mendawai, menambahkan, banjir mengganggu aktivitas perekonomian. ”Pengantar barang bolak-balik ke Pasar Kahayan. Kalau banjir, kendaraan pengangkut barang bisa terbalik,” tuturnya lagi. (ITA/BAY) Post Date : 28 Februari 2013 |