PENINGKATAN akses air minum dan sanitasi layak, terancam
tidak mencapai target Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development
Goals/MDG’s) 2015. Menurut data Kantor Utusan Khusus Presiden RI (KUKPRI) untuk
MDG’s, masih 54,9 persen penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap air
minum tanpa kemasan, 33 persen tidak memiliki akses air minum kemasan, dan 44,5
persen masyarakat tidak memiliki akses sanitasi dasar.
“Kita
perlu air baku untuk minum, tetapi di Kalimantan Tengah masih hidup dari air
sungai, di NTT dengan air hujan. Sanitasi di Indonesia hampir sama dengan Timor
Leste, sehingga jika MDG’s air ini belum tercapai, pada 2015 rapor kita bisa
merah,” kata Utusan Khusus Presiden untuk MDGs’ Nila Moeloek, dalam forum
diskusi Indonesia MDG’s Awards Youth in Campus di Jakarta, Senin (17/2).
Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional menyebut target MDG’s untuk akses air minum
sebesar 68,87 persen, sementara untuk sanitasi layak 62,41 persen. Dari target
itu, BPS mencatat hingga akhir 2012 baru 57,35 persen masyarakat bisa mengakses
sanitasi layak, dan 58,05 persen terlindungi air bersih.
Nila
menekankan, pentingnya kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah. Jika
pemda memprioritaskan pembangunan air bersih dan sanitasi layak, maka biaya
yang dikeluarkan lebih sedikit daripada biaya untuk menutupi kerugian
masyarakat.
Data
Water Sanitation Program World Bank tahun 2008 menunjukkan, kondisi sanitasi
yang buruk mengakibatkan kerugian sebesar Rp1,4 triliun di sektor pariwisata
dan Rp29 triliun di sektor kesehatan. Sanitasi buruk juga berdampak pada
tingginya angka kejadian penyakit diare dan gizi buruk.
“Jadi,
ini tergantung kabupatennya, prioritas apa yang mereka buat supaya daya
ungkitnya lebih menguntungkan. Ibarat mengatur rumah tangga, lebih baik beli
baju, atau membayar sekolah,” kata Nila.
Indonesia
, lanjutnya, bisa mencontoh Singapura yang menduduki posisi teratas di Asia
Tenggara sebagai negara yang memiliki fasiitas sanitasi dasar dan air bersih.
Ketergantungan air bersih dengan Malaysia dikurangi dengan cara membangun
penyulingan air laut.
“Air
di sungai itu disuling untuk penduduk Singapura, kalau seketika ada bencana di
Malaysia mereka tetap punya air, itu yang dipikirkan bagaimana mengantisipasi
ke depan," katanya.
Aktivis
lingkungan dari Pencerah Nusantara, Nur Akbar Bahar mencontohkan, sulitnya air
bersih dan sanitasi di Pulau Ende, NTT. Meski curah hujan rendah, masyarakat
mengandalkan air hujan untuk air minum dan sanitasi. Pasalnya, 95 persen sumur
galian mengandung air payau atau air asin.
“Masyarakat
di sana masak air setengah matang agar saat dipanaskan air payau yang tawar
menguap. Sebanyak 44,1 persen air minum tidak layak memenuhi syarat kualitas
fisik,” tuturnya.
Direktur
Eksekutif Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan Wicaksono Sarosa
mengatakan, di era otonomi daerah, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang
dikelola Pemda mengalami kesulitan dalam membayar hutang. PDAM juga kerap
menjadi sumber pendapatan pemda. Sebagian besar PDAM hanya mampu melayani
hingga 20-30 persen penduduk. Perlu terobosan tata kelola berupa kerja sama,
baik pemerintah dan masyarakat, antarpemerintah daerah, serta pemerintah,
masyarakat dan swasta.
“Pemerintah
pusat harus mendorong supaya pemda mempunyai keleluasaan atau kapasitas menyediakan
air untuk rakyatnya,” ujar Wicaksono.
Post Date : 18 Februari 2014
|