Pemerintah Pusat Dan Daerah Diminta Prioritaskan Air Bersih Dan Sanitasi

Sumber:jurnas.com - 17 Februari 2014
Kategori:Air Minum

PENINGKATAN akses air minum dan sanitasi layak, terancam tidak mencapai target Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDG’s) 2015. Menurut data Kantor Utusan Khusus Presiden RI (KUKPRI) untuk MDG’s, masih 54,9 persen penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap air minum tanpa kemasan, 33 persen tidak memiliki akses air minum kemasan, dan 44,5 persen masyarakat tidak memiliki akses sanitasi dasar.

“Kita perlu air baku untuk minum, tetapi di Kalimantan Tengah masih hidup dari air sungai, di NTT dengan air hujan. Sanitasi di Indonesia hampir sama dengan Timor Leste, sehingga jika MDG’s air ini belum tercapai, pada 2015 rapor kita bisa merah,” kata Utusan Khusus Presiden untuk MDGs’ Nila Moeloek, dalam forum diskusi Indonesia MDG’s Awards Youth in Campus di Jakarta, Senin (17/2).

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional menyebut target MDG’s untuk akses air minum sebesar 68,87 persen, sementara untuk sanitasi layak 62,41 persen. Dari target itu, BPS mencatat hingga akhir 2012 baru 57,35 persen masyarakat bisa mengakses sanitasi layak, dan 58,05 persen terlindungi air bersih.

Nila menekankan, pentingnya kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah. Jika pemda memprioritaskan pembangunan air bersih dan sanitasi layak, maka biaya yang dikeluarkan lebih sedikit daripada biaya untuk menutupi kerugian masyarakat.

Data Water Sanitation Program World Bank tahun 2008 menunjukkan, kondisi sanitasi yang buruk mengakibatkan kerugian sebesar Rp1,4 triliun di sektor pariwisata dan Rp29 triliun di sektor kesehatan. Sanitasi buruk juga berdampak pada tingginya angka kejadian penyakit diare dan gizi buruk.

“Jadi, ini tergantung kabupatennya, prioritas apa yang mereka buat supaya daya ungkitnya lebih menguntungkan. Ibarat mengatur rumah tangga, lebih baik beli baju, atau membayar sekolah,” kata Nila.

Indonesia , lanjutnya, bisa mencontoh Singapura yang menduduki posisi teratas di Asia Tenggara sebagai negara yang memiliki fasiitas sanitasi dasar dan air bersih. Ketergantungan air bersih dengan Malaysia dikurangi dengan cara membangun penyulingan air laut.

“Air di sungai itu disuling untuk penduduk Singapura, kalau seketika ada bencana di Malaysia mereka tetap punya air, itu yang dipikirkan bagaimana mengantisipasi ke depan," katanya.

Aktivis lingkungan dari Pencerah Nusantara, Nur Akbar Bahar mencontohkan, sulitnya air bersih dan sanitasi di Pulau Ende, NTT. Meski curah hujan rendah, masyarakat mengandalkan air hujan untuk air minum dan sanitasi. Pasalnya, 95 persen sumur galian mengandung air payau atau air asin.

“Masyarakat di sana masak air setengah matang agar saat dipanaskan air payau yang tawar menguap. Sebanyak 44,1 persen air minum tidak layak memenuhi syarat kualitas fisik,” tuturnya.

Direktur Eksekutif Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan Wicaksono Sarosa mengatakan, di era otonomi daerah, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang dikelola Pemda mengalami kesulitan dalam membayar hutang. PDAM juga kerap menjadi sumber pendapatan pemda. Sebagian besar PDAM hanya mampu melayani hingga 20-30 persen penduduk. Perlu terobosan tata kelola berupa kerja sama, baik pemerintah dan masyarakat, antarpemerintah daerah, serta pemerintah, masyarakat dan swasta.

“Pemerintah pusat harus mendorong supaya pemda mempunyai keleluasaan atau kapasitas menyediakan air untuk rakyatnya,” ujar Wicaksono.



Post Date : 18 Februari 2014