|
Indonesia sebagai negara dengan populasi masyarakat terbesar di dunia, rupanya masih menyisakan permasalah klasik soal pemukiman kumuh. Dimana masih banyak dan luas penduduk yang bertempat tinggal secara tidak manusiawi di berbagai kota besar dan kota kecil. Kawasan kumuh memang selalu ada di hampir seluruh kota-kota besar di dunia baik di Indonesia, Hongkong, Cina serta India sekalipun. Namun demikian, berbagai program pengentasan kawasan kumuh yang di lakukan oleh pemerintah di negara masing-masing tersebut seperti tidak kunjung selesai. Di Indonesia, permasalahan pemukiman kumuh saat ini masih menjadi isu nasional yang seksi dan menarik perhatian serius dari pemerintah. Pasalnya, menempati hunian yang layak adalah hak azasi manusia dan negara harus mengakomodir hal itu. Asal tahu saja, permasalahan pemukiman kumuh tidak bisa lepas dari persoalan urbanisasi, ekonomi hingga dampaknya terhadap degradasi lingkungan. Data menunjukkan bahwa tingkat urbanisasi adalah 1,7% per tahun dan termasuk di dalamnya ada 23% penduduk kota masih tinggal di kawasan permukiman kumuh. Kawasan Asia adalah penyumbang terbesar penduduk kumuh, yakni 504,2 juta jiwa. Sedangkan di Indonesia, luas kawasan kumuh nasional tercatat sebesar 57.800 hektar dengan pertambahan kantong-kantong permukiman kumuh di perkotaan mencapai 1,37% per tahun. Alhasil, kekumuhan bukan menurun malah bertambah. Jika laju pertambahan konstan permukiman kumuh, maka tahun 2020 luas wilayah kumuh diperkirakan menembus 67.000 hektar. Direktur Pengembangan Permukiman Ditjen Cipta Karya Kementerian PU, Amwazi Idrus menjelaskan, setidaknya ada dua kementerian yakni Kemenpera dan Kementerian PU yang bertugas menangani kawasan kumuh. Namun demikian, pengukuran terkait kriteria dan luasan kawasan kumuh dilakukan oleh BPS dan Bappenas. “Harus ada kriteria serta tolok ukur yang sama dalam penanganan masalah ini. Kami berharap ada sinkronisasi program agar program tersebut dapat berjalan dengan baik,” katanya. Terlepas dari soal kriteria kawasan kumuh, pemerintah mempunyai berkomitmen untuk mengatasi masalah pemukiman kumuh dan menjadi salah satu prioritas Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) nasional hingga 2025 dan diharapkan bisa lebih cepat hingga tahun 2020 menuju pemukiman tanpa kumuh. Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto mengatakan, pemukiman tanpa kumuh juga salah satu tujuan pemerintah menuju Millenium Development Goals (MDG’s) yang ditargetkan 2015. Misi dalam MDG’s sendiri adalah mewujudkan perbaikan signifikan dalam kehidupan normal bagi minimal 100 juta penghuni kawasan kumuh di dunia. Kendatipun demikian, kata Djoko, tingkat hunian kumuh di Indonesia dinilai lebih baik ketimbang India dan Thailand, dimana penduduk kota tinggal di permukiman kumuh masih mencapai 27% dan 29%. Akses Air Bersih Turunan dari masalah pemukiman kumuh adalah keterbasan akses air dan sanitasi bersih akibat minimnya kesadaran yang mengakibatkan prilaku tidak sehat serta sarana dan prasarana. Djoko Kirmanto mengungkapkan, kesadaran masyarakat kota besar termasuk Jakarta tentang pentingnya pola hidup sehat masih rendah, “Ini terlihat dengan masih banyaknya orang yang membuang sampah sembarangan termasuk ke dalam sungai,”ungkapnya. Diantara negara-negara ASEAN, Indonesia masih tertinggal terkait persentase penduduk terhadap jangkauan akses untuk mendapat air bersih dan sanitasi yang baik. Bila dibandingkan dengan Malaysia yang memiliki 100% cakupan akses air bersih dan 96% cakupan sanitasi, bahkan Indonesia masih di bawah Filipina dan Kamboja. Disamping itu, Indonesia juga menempati peringkat ketiga dalam urutan negara dengan layanan sanitasi terburuk di Asia Tenggara. Buruknya layanan sanitasi di Indonesia menimbulkan kerugian Rp 58 triliun per tahun. Meskipun demikian, Djoko Kirmanto tetap menyakini akses air bersih akan tercapai hingga 100% seiring terus ditingkatkannya pelayanan dan penyediaan infrastruktur sanitasi dan air minum di seluruh Indonesia, “Untuk akses air bersih, Indonesia saat ini sudah 50%, bahkan di Banjarmasin sudah hampir 100% dan di Palembang 80%,” kata Djoko. Lanjutnya, komitmen pemerintah untuk mencapai 100% sanitasi sehat di 2025 akan terus dilakukan ditandai dengan penambahan anggaran untuk sanitasi hingga 20% pertahun. Disebutkan, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menganggarkan dana sebesar Rp3 triliun untuk sanitasi. Program tersebut akan dilakukan rutin setiap tahunnya. Sebagai informasi, data BPS 2011 menunjukan akses sanitasi yang layak di Indonesia baru sebesar 55,6%. Padahal target MDGs untuk bidang sanitasi sebesar 62,41%. Dari target pelayanan akses air minum air minum sebesar 68,8% baru tercapai 55%. Sehingga masih sekitar 30 juta orang yang harus dilayani sanitasi dan air minum dalam satu-dua tahun ke depan. Data lain dari UNICEF pada tahun 2011 mengungkapkan, masih sekitar 26% masyarakat masih buang air besar di tempat terbuka. Hal tersebut juga didukung dengan tingginya tingkat pencemaran air di Indonesia yang mencapai 76% dari 53 sungai di Pulau Jawa, Sumatra, Bali dan Sulawesi oleh bahan organik dan 11 sungai utama oleh bahan alumunium. Paradigma Masyarakat Namun bagi Direktur Pemukiman dan Perumahan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Nugroho Tri Utomo, rendahnya akses masyarakat terhadap sanitasi bersih bukan karena persoalan sarana dan prasarana, tetapi sulitnya mengubah paradigma masyarakat tentang pentingnya sanitasi bersih. \"Ini bukan persoalan uang, tapi persoalan kesadaran masyarakat,\" ujarnya. Akses terhadap air bersih dan layanan sanitas bersih adalah hak azasi manusia dan juga kebutuhan mutlak, namun kebutuhan ini kadang tak menjadi prioritas bagi sebagian masyarakat yang lebih mementingkan rokok dan pulsa ketimbang menyisihkan uangnya untuk berinvestasi terhadap sanitasi khususnya akses air bersih dan jamban. Masih banyak masyarakat yang tidak menyadari sanitasi sebagai hal yang penting, sehingga menggangap sepele soal sanitasi dengan membiarkan kebiasaan buruk membuang sampah di sungai atau di ruang terbuka. Padahal sanitasi yang sehat merupakan kunci menciptakan masyarakat yang sehat. Tak ayal, menurut Ketua Umum Asosiasi Toilet Indonesia, Naning Adiwoso, sanitasi dan air minum di Indonesia masih menjadi tantangan yang besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sekitar 100 juta penduduk belum memiliki akses sanitasi yang baik. 63 juta tercatat masih melakukan praktik buang air besar sembarangan seperti di sungai, danau, laut, dan daratan. Menurut dia, sanitasi menjadi masalah yang perlu diperhatikan oleh semua pihak. Karena, sanitasi yang tidak sehat berpotensi menimbulkan penyakit. Maka berangkat dari situ, Kementerian PU terus menyelenggarakan Jambore Sanitasi terhadap anak-anak sekolah. Jambore Sanitasi 2013 diikuti oleh 198 siswa dan siswi dari seluruh Indonesia dan sekaligus pemilihan duta sanitasi. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga sanitas yang baik sejak dini. Selain itu, Jambore Sanitasi juga dimaksudkan pentingnya peran anak sekolah sebagai agen perubahan untuk meningkatkan kepedulian dan perubahan perilaku masyarakat terhadap pentingnya sanitasi yang baik. Pemerintah menyakini, masyarakat akan lebih tersentuh dan malu jika penyuluhan untuk mengubah pola pikir dan pola tindak hidup bersih dan sehat dilakukan oleh anak-anak.
Post Date : 06 September 2013 |