Nur Aisyah (47), ibu empat anak, terlihat
sibuk memilah-milah sampah kertas dan plastik di Depo Pendidikan Pelestarian
Lingkungan Tzu Chi, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, Kamis (23/1). Di kausnya
terlihat bercak-bercak air, karena Nur sempat kehujanan ketika datang ke depo
itu. Nur mengaku, setidaknya dia datang ke depo itu tiga kali seminggu, untuk
memilah-milah sampah daur ulang.
Nur tidak sendirian. Ada banyak sukarelawan yang rajin datang ke depo untuk
membantu memilah sampah. Sukarelawan yang datang dari berbagai macam latar
belakang, setiap Sabtu dan Minggu bekerja di depo-depo. Bahkan di depo Duri
Kosambi, Jakarta Barat, sukarelawan yang datang adalah nenek-nenek yang berusia
70-80 tahun.
Nur, yang sehari-hari tidak bekerja, mengaku senang membantu memilah sampah
karena dia tahu sampah-sampah ini bisa dijual, dan uangnya dipakai untuk
kegiatan sosial. ”Saya tidak bisa membantu uang, bisanya membantu tenaga saja.
Saya sudah dibantu yayasan dengan boleh tinggal di rusun (rumah susun) dan anak
saya disekolahin,” ujar Nur.
Yayasan Tzu Chi memang menanamkan sampah bisa diubah menjadi emas, dan emas
bisa diubah menjadi kasih sayang yang bisa disebarkan ke seluruh dunia. Sampah
yang menjadi persoalan besar di Indonesia bisa dikurangi dengan cara didaur ulang.
”Dengan rajin mengumpulkan sampah, masyarakat juga terdorong untuk tidak
menciptakan sampah. Jika sampah berkurang, lingkungan kita akan lebih lestari
dan sehat,” jelas Suriadi, Sekretaris Jenderal Yayasan Tzu Chi Indonesia.
Sejak mengumpulkan sampah daur ulang tahun 2003, Yayasan Tzu Chi rajin
mengampanyekan cinta lingkungan
dengan cara mengumpulkan sampah daur ulang. Sampah- sampah itu dikumpulkan di
enam depo yang ada di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Di sana, sampah-sampah
itu dipilah-pilah, lalu dijual. Uang hasil penjualannya digunakan untuk
kegiatan sosial. Menurut Suriadi, penjualan sampah dilakukan secara lelang
sehingga mereka mendapatkan harga yang terbaik.
Awal pertama kegiatan pengumpulan sampah untuk menjaga lingkungan berasal dari Taiwan. Ketika itu Master Cheng Yen, Pemimpin Buddha Tzu Chi seluruh
dunia, mengajak masyarakat untuk mengumpulkan sampah, memilah, dan menggunakan
uang hasil penjualan sampah untuk kegiatan cinta kasih. Uang hasil penjualan
sampah itu kini bisa membiayai 40 persen dari biaya operasional DAAI TV,
saluran televisi yang digunakan untuk mengampanyekan kasih sayang dan cinta
kepada bumi.
Di Jakarta, Suriadi mengatakan, penghasilan dari penjualan sampah daur ulang
telah mencapai Rp 150 juta per bulan. Uang itu dipakai untuk kegiatan sosial
yang diselenggarakan Yayasan Tzu Chi. Sementara itu di Medan, uang hasil
penjualan sampah itu dipakai untuk membiayai operasional DAAI TV Medan.
Sampah-sampah itu dikumpulkan dari perkantoran dan kompleks perumahan menengah
atas.
Sampah bersih
Kini, Yayasan Tzu Chi sedang mengampanyekan untuk mengumpulkan sampah bersih
dari asalnya. Jadi sebelum diserahkan untuk didaur ulang, sampah-sampah itu
sudah bersih. Misalnya, botol bekas kecap harus dicuci lebih dulu. Dengan
demikian tidak menimbulkan bau saat disimpan.
Selain itu, Yayasan Tzu Chi juga rajin mendatangi kantor, pabrik, dan
sekolah-sekolah untuk mengampanyekan pengumpulan sampah daur ulang ini.
Kampanye itu tidak semata-mata mengumpulkan sampah untuk Tzu Chi, tetapi lebih
ditekankan untuk menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan.
”Jika sampahnya mau dijual sendiri, lalu uangnya untuk disumbangkan ke tempat
lain bukan ke Tzu Chi, ya tidak apa-apa. Yang penting tidak ada sampah daur
ulang di tong sampah,” jelas Suriadi.
Dia mencontohkan, satu bulan terakhir, pihak Korem Wijaya Kusuma yang
wilayahnya meliputi Jakarta Barat, Bekasi, dan Tangerang juga sudah tertarik
mengumpulkan sampah. Seluruh prajurit Korem Wijaya Kusuma harus membawa sampah
daur ulang dari rumah setiap hari Jumat. Sampah itu dikumpulkan di markas, lalu
dijual. Uangnya dipakai untuk dana sosial Korem, bukan diserahkan kepada Tzu
Chi.
Kampanye melestarikan lingkungan ini sebenarnya sudah dilakukan oleh banyak
pihak, termasuk pemerintah. Namun, banyak kampanye yang hanya berupa imbauan.
Masyarakat tidak diberikan jalan bagaimana cara melakukannya, sehingga kampanye
itu tetap berupa kata-kata indah di papan-papan reklame di jalan. Padahal jika
didorong menjadi sebuah gerakan nyata, masyarakat bisa merasakan sendiri
pentingnya memelihara lingkungan tempat tinggal mereka.
Post Date : 03 Februari 2014
|