|
[JAKARTA] Pulau Jawa dan beberapa pulau lainnya di Indonesia berpotensi mengalami kelangkaan atau krisis air tahun 2020 yang di-akibatkan menurunnya ketersediaan air. Penyebab kelangkaan air itu adalah akibat maraknya perusakan lingkungan dan bertambahnya penduduk, serta tidak profesionalnya pengelolaan air. Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha), Hamong Santono, di Jakarta, Kamis (22/3), menjelaskan, ketersediaan air di Pulau Jawa diperkirakan hanya 1.200 m3 per kapita per tahun padahal kebutuhan standar mencapai 2.000 m3 per kapita per tahun. "Daerah yang berpotensi langka air selain Jawa, yakni Bali, NTB, dan Sulawesi Selatan," ujarnya. Dikatakan, Indonesia merupakan salah satu negara kaya akan sumber daya air di mana ketersediaan air mencapai 15.500 m3 per kapita per tahun, masih jauh di atas ketersediaan air rata-rata di dunia yang hanya 8.000 m3 per kapita per tahun. Meskipun demikian, distribusi ketersediaan air di Indonesia tidak merata. Pulau Jawa yang dihuni sekitar 65 persen penduduk Indonesia hanya memiliki 4,5 persen dari potensi air tawar Indonesia. "Jadi wajar sekali Jawa sangat rawan langka air," ujarnya. Khusus dalam persoalan air bersih, Hanung mengatakan, sekitar 119 juta rakyat Indonesia belum memiliki akses terhadap air bersih. Dari yang memiliki akses, katanya, sebagian besar mendapatkan air bersih dari penyalur air, usaha air secara komunitas serta sumur air dalam. Kesulitan masyarakat memperoleh air bersih semakin bertambah, kata Hanung, ketika sebagian besar perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dalam kondisi tidak sehat. Dia mencatat, dari 11 PDAM yang berhasil disurvei di Indonesia, sebagian besar tidak sehat. Privatisasi pengelolaan air seperti yang dilakukan di Kota Jakarta, menurut Hanung, juga tidak berpengaruh signifikan terhadap pengelolaan air bersih. "Jadi pemerintah harus mengambilalih pengeloaan air karena ternyata ketika diswastakan, pengeloaan air tidak bertambah baik," katanya. Mengkhawatirkan Sementara itu, sekelompok aktivis lingkungan di Kota Bandung, Jawa Barat memperingati Hari Air Sedunia ke-15 dengan berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Kamis (22/3). Dalam aksi damai tersebut, mereka mengajak seluruh masyarakat mengintrospeksi diri terkait dengan semakin memprihatinkannya kondisi air di ini. Anggota Dewan Permerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Sobirin mengingatkan, saat ini ada 77 titik mata air dan 46 sungai di Kota Bandung yang mengalami kerusakan. "Alih fungsi lahan dan kerusakan lingkungan kawasan Bandung utara menjadi penyebab utamanya," tutur dia, Kamis (22/3). Selama ini, sambungnya, kawasan tersebut seharusnya tidak menjadi permukiman dan lahan komersial. Pasalnya, daerah tersebut berfungsi sebagai daerah resapan air untuk Kota Bandung. Akibat semakin sedikitnya lahan resapan air, kebutuhan air bersih masyarakat Bandung yang setiap tahunnya mencapai 17 miliar meter kubik tidak bisa terpenuhi. Secara terpisah, puluhan pelajar peduli air melakukan pengambilan sampel air di beberapa titik yang berada di sepanjang sungai Cikapundung. Kegiatan tersebut dilakukan dari daerah hulu di wilayah Kampung Cikareo, Desa Cikole, Lembang hingga ke bagian hilir Sungai Citarum depan Gedung PLN Jabar-Banten, Jalan Asia Afrika, Bandung. Jatim Dari Surabaya dilaporkan pula, belasan aktivis mahasiswa teknik lingkungan UPN Veteran Jawa Timur melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim, Kamis (22/3) untuk memperingati hari air sedunia. Dalam aksi ini mereka menuntut pihak Kejati Jatim menuntaskan 11 perkara perusahaan yang melakukan pencemaran lingkungan di sepanjang sungai Brantas. Kasus ini sudah terjadi sejak tiga tahun terakhir, tetapi belum ada yang disidangkan di pengadilan. Sementara itu dari pihak Kejati Jatim telah menjanjikan bahwa perkara ini akan dituntaskan, namun hingga saat ini perkara ini masih dalam proses penyidikan Polda Jatim. Sungai Brantas yang digunakan sebagai bahan baku air minum juga dimanfaatkan sebagai buangan air limbah industri domestik. Limbah organik yang di buang ke sungai Brantas sebanyak 33.477 kg per hari, atau 86 persen berasal dari sektor industri. Sementara sisanya 8 persen berasal dari buangan domestik, yakni sebanyak 2.597 kg per hari. [E-7/153/029] Post Date : 23 Maret 2007 |