|
KONDISI air tanah di kota Yogyakarta sudah cukup mengkhawatirkan. Bahkan ada beberapa sumur yang airnya tidak layak untuk dikonsumsi, karena mengandung bakteri yang cukup membahayakan bagi tubuh manusia. Ironisnya, masyarakat masih terus menggunakan sumur tersebut untuk kebutuhan sehari-hari. Padahal jika hal itu dibiarkan berlarut-larut cepat atau lambat akan berdampak pada kesehatan. "Untuk itu dalam waktu dekat kami akan mengadakan riset dan investigasi pengolahan limbah di rumah sakit, hotel dan pusat-pusat perbelanjaan yang jumlahnya mencapai 30 titik," kata Ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DIY, Suparlan. Parlan menambahkan, agar hasil yang diperoleh bisa maksimal, tindakan advokasi pada warga sengaja difokuskan bagaimana bisa menghimpun sebuah gerakan sosial yang tidak hanya dari LSM, tapi juga dari rumah sakit, hotel dan pusat-pusat perbelanjaan. Ironisnya pencemaran yang mereka lakukan sering tidak disadari oleh publik. Untuk itu akan lebih bijaksana jika pihak-pihak tersebut lebih transparan pada publik, khususnya dalam prosedur pengolahan limbah. Namun jika hal itu tidak dilakukan, selain pencemaran sulit diatasi, tanpa disadari mereka telah melakukan kebohongan publik. "Di samping itu agar hasil yang diperoleh bisa maksimal, selain mencari penyebab pencemaran, Pemkot harus lebih tegas dalam memberlakukan sanksi," ujar Parlan. Pengawasan Kualitas Kasi Penyelamatan Lingkungan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Yogyakarta, P Suroso didampingi stafnya Setyo Gati Chandra Dewi mengatakan, untuk mengetahui kualitas air sumur yang ada di kota Yogyakarta pihaknya selalu melakukan pengawasan kualitas air bersih. "Untuk tahun 2006, Dinkes kota akan meneliti 785 sumur. Agar hasilnya bisa maksimal biasanya sengaja kami jadwalkan atau 1 bulan sekitar 90 sampel," katanya. Menurutnya, indikator pencemaran secara umum bisa dilihat dari air yang berbau, berasa dan berubah warna. Adapun sumber pencemaran selain dari limbah industri dan rumah tangga, juga pembuangan sampah yang tidak baik, jarak assenering yang terlalu dekat dan kurangnya kesadaran masyarakat untuk menerapkan pola hidup sehat. Dijelaskan, berdasarkan pengamatan di lapangan, sumber pencemaran di kota Yogyakarta sebagian besar disebabkan oleh bakteri pathogen dan non pathogen. Hal itu bisa dilihat dari rekapitulasi pemeriksaan kualitas air secara bakterologis untuk tahun 2005. Dari 658 sampel yang ada, sebanyak 349 (53,04 persen) dinyatakan tidak memenuhi syarat, sehingga yang memenuhi syarat hanya 309 sampel (46,96 persen). Biasanya orang yang mengonsumsi air ini mudah terserang diare dan penyakit yang ditularkan melalui air. Selalu Meningkat Ketika dimintai komentar terkait banyaknya sumur yang tercemar, Kepala Bapedalda Propinsi DIY, Prof Dr Sudarmaji mengatakan, adanya pencemaran itu sebenarnya sudah terdeteksi sejak tahun 1980-an. Tapi pertambahan jumlah penduduk dan industri khususnya yang ada di wilayah perkotaan menjadikan pencemaran semakin tinggi. Bahkan untuk pusat kota yang pemukimannya cukup padat serta jarak pembuangan limbah yang terlalu dekat dengan sumur, perlu diwaspadai dan mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai pihak. "Peningkatan jumlah penduduk dan jarak pembuangan limbah yang terlalu dekat menjadikan pencemaran semakin tinggi. Hal itu bisa dilihat dari adanya pencemaran yang disebabkan oleh bakteri coli tinja dan nitrat," katanya. Sudarmaji menambahkan, terkait dengan kompleksitas masalah khususnya yang terkait dengan masalah pencemaran, pihaknya selalu berusaha untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian lingkungan melalui perbaikan lingkungan berbasis masyarakat, membuat rancangan Ipal komunal dan sanitasi konstruksi sumur. Sebab, jika dikaji secara mendalam, pencemaran lingkungan dari tahun ke tahun selalu meningkat. Apabila pencemaran tersebut tidak segera ditanggulangi, diperkirakan pada tahun 2020 kondisi air tanah akan sangat memprihatinkan. Bahkan pada tahun 2006 dampak dari pencemaran itu sudah mulai terasa. Baik buruknya kualitas air tanah, secara tidak langsung dipengaruhi oleh padat tidaknya suatu pemukiman. Biasanya sumur yang berada di daerah pemukiman padat kualitas airnya lebih jelek dari pada daerah yang penduduknya belum padat. Untuk mengatasi persoalan itu, selain pola hidup sehat, sanitasi juga harus diperbaiki. Sebab jika dibiarkan berlarut-larut bisa menimbulkan persoalan serius bagi kesehatan. "Meski kasusnya jarang terjadi, pencemaran yang disebabkan oleh nitrat bisa menyebabkan bayi yang dilahirkan menjadi biru. Sedangkan pencemaran yang disebabkan bakteri coli tinja bisa memicu terjadinya penyakit diare," terangnya. Sulit Diperoleh Harry Supriyono SH MSi menilai, kenyataan di daerah perkotaan, khususnya di Yogyakarta, sumber air yang layak semakin sulit diperoleh. Padahal, di antara sumber air yang umumnya digunakan penduduk menengah ke bawah adalah air sumur, baik untuk minum maupun memasak. "Tapi air untuk memenuhi kebutuhan ini dianggap layak jika sesuai syarat yaitu memenuhi syarat kualitas fisik, kualitas kimia, kualitas bakteriologis dan memenuhi syarat radioaktif," kata Ketua Bagian Hukum Lingkungan Fakultas Hukum UGM. Ketentuan baku mutu air tersebut, lanjutnya, telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air juncto Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 416/MENKES/Per/IX/1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air dan Nomor 907/MENKES/SK/VII/ 2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. "Dalam ketentuan tersebut dibedakan antara pengertian air bersih dan air minum," katanya. Air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Jenis ini meliputi air ledeng (PDAM), air yang didistribusikan melalui tanki air, air kemasan dan air yang digunakan untuk produksi bahan makanan dan minuman untuk masyarakat. Sedangkan air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Namun faktanya menunjukkan, bahwa sebagian besar masyarakat yang tidak mampu berlangganan air PDAM atau yang belum dapat dilayani oleh PDAM, menggunakan ait bersih dari air sumur untuk air minum. "Padahal dengan kondisi kualitas air bersih yang sudah tercemar, sulit bagi masyarakat untuk mengolahnya menjadi air minum yang memenuhi standar kualitas. Dengan demikian, selama itu pula masyarakat mengkonsumsi air yang sebenarnya akan sangat merugikan bagi kesehatannya," katanya. Untuk itu, menurut Harry, diperlukan pendayagunaan program untuk mengatasi sumber pencemaran air sumur baik berupa limbah manusia, air rembesan sampah, rembesan dari air sungai yang tercemar dan rembesan dari limbah industri-perdagangan yang dibuang ke tanah. Kecuali itu juga pengendalian pemanfaatan ruang, terutama dengan penambahan ruang terbuka hijau pada kawasan permukiman serta peningkatan prioritas pelayanan PDAM untuk masyarakat rumah tangga dan di satu sisi melarang atau mengurangi kegiatan mall dan hotel-hotel besar untuk menggunakan air PDAM. Tak kalah penting adalah peningkatan kesadaran masyarakat, misalnya dengan penataan dan rehabilitasi kembali sumur-sumur dan septic tank yang sudah ada agar dicapai jarak yang ideal. "Upaya ini dapat dirintis oleh RT/RW setempat dengan bantuan dari Pemda Kota Yogyakarta," kata Harry pula. q -e. Post Date : 17 April 2006 |