|
BERTAMBAHNYA jumlah penduduk tidak hanya membebani Jakarta dalam hal penataan tata ruang, ketersediaan pangan, dan pelayanan jasa lainnya. Lebih dari itu, Jakarta harus mampu mengelola ribuan ton sampah hasil aktivitas warganya. Dinas Kebersihan DKI Jakarta mengestimasi, jumlah sampah yang dihasilkan warga setiap hari mencapai 27.966 meter kubik atau sekitar 6.000 ton. Meski, jumlah itu masih menimbulkan perdebatan, terutama dengan LSM-LSM pemerhati lingkungan di Jakarta. Ironisnya, Jakarta dihadapkan pada berbagai kesulitan dalam mengelola sampahnya. Mulai dari soal minimnya sarana dan prasarana hingga dana penyokong. Sumber terbesar sampah di Jakarta tak lain sampah rumah tangga (58 persen); disusul sampah komersial atau aktivitas perkantoran (15 persen), sampah pasar (10 persen), sampah industri (15 persen), fasilitas lainnya seperti taman, sungai dan jalan (dua persen). Dalam penanganan sampah, Jakarta menerjunkan 757 truk sampah untuk mengangkut sampah-sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Tentu, tidak cukup. Terbukti, dari total sampah yang dihasilkan, hanya 87 persen atau 25.925 meter kubik sampah yang bisa dikelola. Sisanya, “terpaksa” ditinggalkan di lokasi tempat pembuangan sementara (TPS). Masalah lain muncul ketika sampah-sampah di TPA tidak tertangani dengan baik. Akibat tidak ada pemisahan antara sampah organik dan anorganik, pengelolaan sampah berjalan lamban. Tumpukan sampah organik bercampur aduk dengan sampah-sampah plastik yang tidak mudah hancur. Akibatnya, bukit-bukit sampah di TPA kian lama kian tinggi. Celakanya lagi, kapasitas mesin penghancur tidak sepadan dengan jumlah sampah yang masuk setiap hari. Pengelolaan Mandiri Jakarta akhirnya memutuskan “belajar” pada negara-negara tetangga, antara lain: Jepang. Salah satu saran sang guru adalah menyerahkan pengelolaan sampah kepada si penghasil sampah itu sendiri. Pemprov DKI pun berencana mengeluarkan rancangan kebijakan yang mewajibkan pengembang di Ibu Kota menyediakan sarana pengelolaan sampahnya sendiri. Intinya, sampah tidak lagi sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Dengan begitu, warga akan mandiri dalam mengatur sampah yang dihasilkannya. Setidaknya, warga akan berpikir ulang dalam menyeleksi sampah-sampah yang akan dibuang. Ide lain, mengatur jenis sampah sesuai jadwal pengangkutan. Misalnya, sampah anorganik hanya akan diambil di akhir pekan. Sementara sampah organik yang dipungut jumlahnya juga dibatasi setiap hari. ”Setidaknya 90 persen sampah yang dihasilkan warga akan kembali diolah secara mandiri. Sisanya, atau disebut residu, akan diangkat oleh dinas kebersihan. Jumlahnya tidak lebih dari 10-15 persen," kata Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bharuna kepada JurnalNasional, Selasa (27/12). Selain itu, Pemprov DKI juga mulai menjalankan program pembangunan pusat pengelolaan sampah ITF (Intermediate Treatment Facility). Selain menggunakan teknologi tinggi, yakni Mechanical Biological Treatment (MBT), ITF akan memperkecil jumlah sampah yang dibawa ke TPA. Sebagian besar sampah akan dikelola di pusat-pusat ITF yang terletak di wilayah Jakarta. Antara lain, di ITF Cakung Cilincing, ITF Marunda, dan ITF Sunter. Salah satu keuntungannya, biaya angkut sampah akan jauh lebih ringan dibandingkan sebelumnya. Residu hasil pengolahan sampah jauh lebih sedikit. Selain menghasilkan kompos, ITF juga akan menghasilkan bahan bakar gas. Besarnya bisa mencapai 445.699 MMBTU. Rencana, per 1 Januari 2012, ITF CanCing beroperasi mengolah sampah 1.300 ton per hari dengan teknologi MBT. Sementara itu, ITF Sunter yang berdiri di atas lahan 3,5 hektare direncanakan mampu mengolah sampah 1.200 ton per hari dengan teknologi waste to energy. Saat ini, ITF Sunter dalam tahap tender yang lebih kurang memakan waktu tiga bulan dengan skema kerja sama pemerintah dan swasta (KPS) dalam Pengadaan Infrastruktur. Direktur Eksekutif WALHI DKI Jakarta, Ubaidillah, mengatakan, sudah saatnya pengolahan sampah di Jakarta tidak lagi dilimpahkan ke daerah penyangga di sekitarnya. "Bagaimanapun, Pemprov DKI harus mengurus persoalan sampahnya sendiri. Perhitungan kami, dari efisiensi dan efektivitas, pengolahan sampah dalam kota lebih baik daripada membangun di luar kota Jakarta," ujar Ubaidillah, di Jakarta, Rabu (7/12). Menurutnya, sistem yang ada dalam ITF menggunakan pendekatan 3 R (recycle, reduce dan reuse). Sistem tersebut dapat meminimalisasi pencemaran yang mengganggu kesehatan masyarakat. Sebab, dengan teknologi tersebut, seluruh sampah bisa diurai hingga tidak tersisa (zero to waste). "Teknologi ini juga digunakan sejumlah negara maju yang punya persoalan sama seperti Jakarta. Dengan teknologi ini masyarakat akan diuntungkan karena tidak ada lagi sampah yang tidak bisa diurai. Kita ingin dalam melakukan pengolahan sampah, Pemprov juga memperhatikan kesehatan masyarakat," ucap Ubaidillah. Suci Dian Hayati Post Date : 30 Desember 2011 |