|
SOREANG --Setiap tahun, terjadi penurunan muka air tanah hingga dua meter. Ancaman dampak lingkungan yang terjadi di Bandung metropolitan area (BMA) semakin serius. Pada 2010, diperkirakan BMA akan mengalami difisit kebutuhan air bawah tanah dan air pemukaan (ABT AP) hingga 130 juta meter kubik. Data dari Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Provinsi Jawa Barat menunjukkan, kebutuhan masyarakat terhadap air pada 2010, mencapai 1,98 miliar kubik. Sementara stok air permukaan dan air bawah tanah pada tahun 2010, hanya 1,85 miliar kubik. Kebutuhan air di BMA hanya bisa tertutupi hingga 2005. Pada tahun 2005, sisa potensi air setelah menutupi kebutuhannya, hanya 50 juta meter kubik. Kondisi tersebut lebih buruk dibandingkan pada 2002, yang mampu menyisihkan sisa potensi air dari kebutuhannya, sebanyak 150 juta meter kubik. Potensi ABT AP itu, berasal dari 29 titik potensi air yang ada di BMA, yakni Kabupaten dan Kota Bandung, Kabupaten Sumedang, serta Kota Cimahi. Indikasi ancaman krisis air itu, diperkuat pula dengan kajian Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bandung. Hampir setiap tahun, terjadi penurunan muka air tanah hingga dua meter. Sekretaris Daerah Kabupaten Bandung, H Abu Bakar mengatakan, penurunan muka air tanah itu, disebabkan oleh maraknya eksploitasi sumber ABT. Menurut dia, praktik eksploitasi ABT itu, kerap dilakukan oleh oknum industri. ''Kami prihatin dengan kondisi tersebut. Mudah-mudahan, ancaman krisis air tersebut tidak terwujud,'' ujar Abu kepada wartawan, Senin (13/12). Menurut dia, seluruh pemerintah daerah yang ada di BMA, harus duduk satu meja dalam mengantisipasi ancaman tersebut. Mulai tahun ini, imbuh Abu, masing-masing daerah harus mengambil kebijakan tentang pemulihan lingkungan, di antaranya reboisasi hutan, serta normalisasi sungai. Menurut dia, tiga pemerintahan daerah itu harus bersepakat memberantas praktik perusakan lingkungan. Bahkan, ditegaskan Abu, tidak akan ada kompromi lagi bagi oknum perusak lingkungan. Sementara Bupati Bandung, H Obar Sobarna, mengatakan, sebagai upaya untuk mengantisipasi ancaman lingkungan itu, pemkab sudah mulai membenahi rencana tata ruang dan wilayah (RTRW). Menurut dia, dalam waktu dekat ini, pemkab akan mengantongi data yang menjadi landasan pembenahan Perda 12/2001 tentang RTRW. ''Kami sudah menggelar semiloka tentang perumusan tata ruang Kabupaten Bandung,'' ujar Obar kepada wartawan, Senin (13/12). Dipaparkan dia, semiloka itu membuktikan bahwa pemkab mengakomodir aspirasi masyarakat, yang keberatan dengan RTRW Kabupaten Bandung. Obar menandaskan, RTRW merupakan payung hukum yang bersifat fleksibel. Artinya, sambung dia, RTRW tersebut bisa berubah, sesuai tuntutan lingkungan dan stakeholders terkait. Pada bagian lain, Obar membantah, jika dikatakan bahwa RTRW Kabupaten Bandung lebih mengakomodir kepentingan pengusaha perumahan. Menurut dia, tidak seluruh lahan pemukiman yang terdaftar dalam RTRW bisa dibangun. Ia menegaskan, setiap pembangunan perumahan harus melalui proses analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). ''Sekali pun dalam RTRW dibolehkan, kami akan mengacu pada hasil pembahasan amdal,'' katanya menambahkan. Karena itu, Obar menambahkan, masyarakat tidak perlu sangsi dengan ketetapan RTRW itu. Obar membenarkan bila kondisi lingkungan di BMA semakin memburuk. Untuk itu, Obar meminta masyarakat untuk ikut memulihkan kondisi lingkungan BMA, khususnya yang berkaitan dengan ketersediaan air. Ia mengaku siap menerima laporan tentang praktik perusakan lingkungan. Ia juga berjanji, akan menindaklanjuti laporan tentang perusakan lingkungan. Ketua Forum Penyelamat Lingkungan Hidup (FPLH), Thio Setiowekti, menyambut baik upaya pemkab dalam merevisi RTRW Kabupaten Bandung. Namun, ia pesimis hasil semiloka itu bisa ditindaklanjuti dalam revisi RTRW. ''Saya mencium, sebagian pejabat pemkab sudah terkontaminasi oleh kepentingan pengusaha,'' ujar Thio, Senin (13/12). Buktinya, kata dia menegaskan, hingga kini pemkab tidak mampu menertibkan lahan pemukiman yang bertentangan dengan kelestarian lingkungan. Laporan : san Post Date : 14 Desember 2004 |