|
Solo, Kompas - Hanya berselang kurang dari sebulan, Bengawan Solo kembali meluap pada Rabu dan Kamis (26/2), merendam sekitar 20.000 rumah, ratusan hektar sawah, dan merenggut dua korban jiwa di Jawa Tengah dan Jawa Timur, menyusul tingginya curah hujan. Masyarakat merasakan banjir kali ini terbesar sejak terjadinya banjir pada 1982. Banjir besar tahun ini diawali pada 30-31 Januari 2009 saat Bengawan Solo memaksa ribuan keluarga di Kota Solo dan Kabupaten Sukoharjo mengungsi. Banjir kedua berlangsung Rabu malam hingga Kamis kemarin. Di Solo, banjir sejak Rabu malam mengakibatkan 9.956 rumah terendam sehingga ratusan keluarga mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Di Jatim, banjir menggenangi 10.636 rumah yang dihuni 43.017 jiwa. Warga yang mengungsi tercatat setidaknya 4.282 jiwa, tersebar di kantor balaidesa, kecamatan, gedung sekolah, tanggul-tanggul, serta gudang tembakau. Sesuai dengan ”karakter sungai” Bengawan Solo yang membentang dari Wonogiri, Jateng, hingga Gresik, Jatim, luapan banjir kali ini berturut-turut membanjiri sembilan kabupaten dan kota yang dilalui Bengawan Solo, yaitu Sukoharjo, Kota Solo, Sragen, Ngawi (Jatim), Blora (Jateng), Bojonegoro (Jatim), dan terus ke Kabupaten Tuban, Lamongan, dan Gresik, semuanya di Jatim. Selepas Ngawi, debit air Bengawan Solo bertambah besar karena ada aliran air anak sungai Bengawan Madiun. Dua warga tewas tersetrum ketika berusaha mengungsi, Rabu malam. Mereka adalah Saidi Sudiarso (55), warga Kampung Plelen, dan Slamet Sudaryono (21), warga Kampung Seruni di Kelurahan Kadipiro, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo. Sejumlah tempat di Kota Solo yang bertahun-tahun sebelumnya tak kebanjiran, kemarin, terendam juga, misalnya Kampung Krembyongan di Kelurahan Kadipiro. Warga Kampung Krembyongan, Sarikem, mengatakan, banjir pada 25 Februari ini lebih parah dibandingkan dengan banjir tahun 1982. ”Sekarang airnya sampai sedada. Dulu sepaha orang dewasa,” katanya. Banjir merambah hingga radius 500 meter dari tepi sungai, seperti dialami Prama (28), juga warga Krembyongan. ”Baru kali ini kebanjiran,” katanya. Camat Banjarsari Hasta Gunawan, yang juga warga asli Kelurahan Kadipiro, menuturkan, tahun 1982 wilayah yang menjadi ”lautan” karena banjir hanya di Kelurahan Nusukan. Hanya sedikit genangan di Kelurahan Kadipiro yang kecil. Di Kecamatan Banjarsari, wilayah utara Solo, banjir juga merendam enam kelurahan. ”Sekarang karena hunian padat dan ada banjir kiriman dari Boyolali, genangan jadi tinggi. Airnya juga lebih deras dibandingkan tahun 1982,” ujar Hasta. Menurut buku Ekspedisi Bengawan Solo (Penerbit Buku Kompas, 2008), banjir Bengawan Solo tahun 1982 itu juga merendam 129 desa di 13 kecamatan di Kabupaten Bojonegoro. Sebanyak 7.298 rumah dan 917.376 hektar lahan persawahan terendam banjir. Yasin Yusuf, peneliti dari Bidang Pencegahan, Mitigasi, Kesiapsiagaan Pusat Studi Bencana Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo mengemukakan, perubahan penggunaan lahan (unplanned urbanization) di daerah hilir serta hulu Bengawan Solo menyebabkan kapasitas sungai dan anak sungai Bengawan Solo semakin kecil. Hal senada diungkapkan pengajar Teknik Sipil Fakultas Teknik UNS Solo, Yusuf Muttaqin. Kawasan yang seharusnya menjadi resapan berubah menjadi permukiman atau daerah industri, baik di hilir maupun hulu. ”Untuk Kota Solo, kondisi ini diperburuk dengan jaringan drainase yang fungsinya sangat menurun,” ujarnya. Sejumlah kelurahan di Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, yang berbatasan dengan Kabupaten Bojonegoro juga kembali mendapat banjir kiriman dari hulu, Kamis sekitar pukul 05.00. Sebanyak 961 rumah di sembilan kelurahan tergenang air dan salah satu akses ke sekolah tertutup. Banjir menggenangi permukiman di Kelurahan Cepu, Balun, Ngelo, Nglanjuk, Sumberpitu, Jipang, Ngloram, Gadon, dan Getas selang 10 jam setelah Solo terendam. Kondisi parah Di Kabupaten Bojonegoro, Jatim, luapan Bengawan Solo berdampak parah karena 105 desa di 12 kecamatan terendam, Kamis. Tanaman padi mulai umur 20 hari hingga siap panen seluas 6.705 hektar dan palawija 408 hektar ikut terendam. Banjir menggenangi 10.636 rumah yang dihuni 43.017 jiwa. Warga yang mengungsi sebanyak 4.282 jiwa tersebar di kantor balaidesa, kantor kecamatan, SMP Negeri Trucuk, tanggul-tanggul, dan gudang tembakau. Di Kabupaten Mojokerto, aktivitas sebagian warga di wilayah Kecamatan Ngoro, Kamis, terhenti akibat banjir. Desakan air terjadi bervariasi di beberapa wilayah desa mulai Rabu sore hingga Kamis dini hari akibat meluapnya Kali Sadar setelah tak sanggup menampung muntahan air dari Gunung Penanggungan. Wilayah paling parah akibat banjir terjadi di Desa Candiharjo, sebagian Desa Tambakrejo, serta Desa Kembangsri. Hingga Kamis siang, permukaan air terus meninggi mencapai 1 meter di beberapa bagian desa. Candi Bangkal di Desa Candiharjo terendam lebih dari 1 meter. Gedung SD Negeri Candiharjo 1 dan 2 lengang karena murid-murid dipulangkan akibat banjir. Puskesmas Bangkal ditinggalkan petugasnya dalam keadaan tertutup. Di Kabupaten Mojokerto, banjir sejak Selasa malam menggenangi Desa Kenanten dan Sumolawang di Kecamatan Puri; Desa Jabon, Gayaman, dan Gebangmalang di Kecamatan Mojoanyar; Desa Salen di Kecamatan Bangsal; Desa Jotangan dan Kedunggempol di Kecamatan Mojosari; Desa Candiharjo, Tambakrejo, dan Kembangsri di Kecamatan Ngoro. Supranoto (45), petani penggarap di Desa Kembangsari, mengatakan, sekitar 4 hektar lahan padi yang biasa digarapnya mungkin akan dipanen lebih awal. Sebab, rendaman banjir selama dua hari ini nyaris merusak tanamannya. (INK/APA/ACI/HEN/EKI/KUM) Post Date : 27 Februari 2009 |