Puluhan
penggiat pertengahan bulan ini mengeluarkan petisi memprotes besarnya biaya
mendapatkan air bersih di Jakarta. Apalagi tidak ada peningkatan layanan.
Masyarakat miskin tetap sulit mendapatkan pasokan air layak pakai.
Ditambah lagi tarif air bersih di Jakarta
rata-rata Rp 7 ribu per meter kubik. Jauh lebih mahal ketimbang daerah lain
hanya Rp 2 ribu sampai Rp 2.600.
Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air
Jakarta (KMMSAJ) menegaskan warga ibu kota masih sulit menjangkau air bersih.
Padahal, dua perusahaan swasta ditunjuk mengelola air bersih di Jakarta
mengklaim jangkauan layanan mereka sudah 62 persen.
Sesuai target pembangunan milenium kedua, layanan
air bersih dua tahun lagi diharapkan bisa menyentuh 80 persen warga Jakarta.
Gubernur Jakarta Joko Widodo pun mulai mencium
masalah ini. Beberapa kali dia berjanji untuk menambah pasokan air bersih bagi
warga Jakarta. Saat ini pasokan air dari Waduk Jatiluhur lewat Kanal Barat baru
18 ribu liter per detik.
"Di Jakarta akan tambah lima ribu lagi. Insya
Allah pertengahan tahun kita laksanakan," katanya kepada wartawan di Balai
Kota, Jakarta.
Koordinator Advokasi Koalisi Masyarakat Untuk Hak
Atas Air (KruHa) Muhammad Reza menilai kebijakan tata kelola air dikeluarkan
oleh pemerintah bertentangan dengan hukum dan tidak sesuai amandemen UUD 1945
dalam pasal 33. Swastanisasi pengelolaan air di Jakarta bukannya memperbaiki
malah menambah persoalan menjadi benang kusut.
Idealnya, kata Reza, pengelolaan harus
dikembalikan kepada PAM Jaya. Karena Air pada dasarnya mengandung dua hukum,
yakni konstitusi dan hak asasi manusia. "Itu jelas sudah ditafsirkan MK
(Mahkamah Konstitusi). Air adalah barang publik memiliki fungsi sosial dam
ekonomi. Jadi tanggung jawabnya oleh negara," kata Reza saat berbincang
dengan merdeka.com di kantornya, kawasan Matraman,
Jakarta Timur. "Kalau tidak dikuasai negara akan terjadi konflik dan
liberalisasi."
Sesuai siaran pers dari PAM Jaya, menurut catatan
KruHa, perusahaan milik Pemerintah DKI ini rugi hingga Rp 1,3 triliun.
Sedangkan Palyja dan Aetra selaku pengelola untung ratusan miliar per tahun.
Selain itu, kerja sama dengan pihak swasta
didesain agar tarif lebih tinggi dari harga normal. Meski sejak 2007 tarif air
di Jakarta diturunkan, namun pihak swasta selaku pengelola meminta kenaikan
imbalan. "Sisi lainnya adalah manajemen risiko dibebankan kepada PAM Jaya
bukan bersama dan itu dibebankan ke pelanggan. Jika tidak terbayar akan
dibebankan kepada pemerintah pusat," ujar Reza.
Post Date : 11 Juni 2013
|