|
TOKYO, KOMPAS — Persoalan sampah yang membelit sejumlah kota besar di Indonesia, termasuk di Jabodetabek, hingga saat ini tidak perlu terjadi jika regulator di pusat dan daerah menempatkan komoditas ini sebagai produk bernilai tambah tinggi untuk kepentingan ekonomi kota, lingkungan, dan energi terbarukan. Namun, jika pemerintah dan warga melihat sebaliknya, sampah sebagai barang buangan, sampai kapan pun limbah rumah tangga dan industri ini tetap menjadi masalah pelik di perkotaan. Pemerintah harus mengubah pola kebijakan penanganan limbah ini. Pemerintah harus melihatnya dalam kacamata kepentingan yang lebih besar, yakni seberapa banyak nilai tambah yang diperoleh. Dengan demikian, penanganannya pasti akan lain. Selain akan meningkatkan kualitas udara, menurunkan anggaran untuk pengangkutan sampah, lokasi pembuangan sampah, dan subsidi, hasil daur ulang bisa dimanfaatkan untuk konsentrat blok beton dan sebagainya. ”Produk daur ulang yang lain bisa dimanfaatkan lagi untuk produk ekonomi,” kata pengusaha nasional Rachmat Gobel yang juga Ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia Jepang saat berkunjung ke Tamagawa Incineration Plant di Shimomaruko, kota Ota, Tokyo, Jepang, Selasa (25/3), seperti yang dilaporkan wartawan Kompas, Banu Astono, dari Tokyo. Hal itu yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Tokyo. Mereka memiliki kebijakan yang jelas untuk penanganan sampah sehingga sampah bisa menjadi barang ekonomi sekaligus membuat lingkungan jadi bersih serta sehat. Kondisi ini bisa tercapai karena di Tokyo ada lebih dari 20 pabrik pengolahan pembakaran sampah menjadi energi. Teknologi sederhana Bagi Indonesia, untuk melakukan hal seperti itu tidak sulit, kata anggota Komite Inovasi Nasional, Jusman Safeii Djamal. Investasi proyek industri semacam Tamagawa Incinerator Plant ini tidak besar dan tidak butuh lahan yang luas. Selain itu, teknologi yang digunakan juga sangat sederhana, yakni hanya membakar. Namun, yang membedakan adalah kebijakan regulator di sini menetapkan ketentuan bahwa asap hasil pembakaran itu tidak boleh lebih dari 0,1 per partikel per menit (ppm) sehingga tidak mengeluarkan bau busuk dan polusi udara. Selain itu, abu hasil pembakaran juga bisa dimanfaatkan untuk konsentrat bahan bangunan dan pupuk, sedangkan produk daur ulang lain diolah menjadi produk ekonomi bernilai tinggi. ”Sebenarnya tidak sulit bagi pemerintah kota di Indonesia, termasuk Jakarta, untuk mengolah sampah dengan teknologi membakar seperti ini,” kata Jusman yang juga mantan Menteri Perhubungan. Prosesnya juga tidak sulit. Sampah dari sejumlah wilayah di kota Ota, Tokyo, dibawa ke Tamagawa lalu dipilah dulu. Sampah yang bisa dibakar dimasukkan ke silo untuk diurai agar saat proses pembakaran mudah, setelah itu baru diangkut ke tungku untuk dibakar dengan suhu hingga 800 derajat celsius agar menghasilkan polusi hanya 0,1 ppm. Energi yang digunakan bisa minyak atau gas, itu pun hanya dipakai pada saat memantikkan api. Setelah terbakar, baru diupayakan mencapai suhu 800 derajat celsius, kemudian dipertahankan panasnya agar menjadi energi baru untuk membakar sampah berikutnya. ”Jadi, energi yang digunakan juga murah. Panas hasil pembakaran itu juga bisa menghasilkan energi listrik sebesar 25 kWh per ton sampah yang dibakar. Lumayan untuk menambah pasokan energi meskipun secara matematis cost-nya masih lebih besar daripada revenue. Namun, nilai politis, ekonomi, dan lingkungan yang diperoleh kota tersebut jauh lebih besar,” kata Jusman. Sementara itu, sampah pilahan yang tidak bisa dibakar dikirim ke suatu pulau untuk dikumpulkan dan diolah menjadi produk daur ulang lain. Sementara itu, menurut Osawa Yutaka, Manajer Tamagawa, pabrik ini dibangun dengan investasi sekitar 16 miliar yen atau sekitar Rp 1,6 triliun di areal seluas 3,2 hektar. Kapasitas produksi pengolahan sampah mencapai 300 ton per hari, dengan dua mesin insinerator yang masing-masing berkapasitas 150 ton per hari dan mampu menghasilkan abu konsentrat daur ulang sampah sebesar 30 ton per hari. Sebelum pabrik ini terbangun, sesuai Waste Report 2014 Clean Association of Tokyo, sempat terjadi perdebatan antara Pemerintah Kota Tokyo dan 23 kecamatan yang ada. Hasilnya disepakati bahwa setiap kecamatan harus menangani secara independen soal sampah tetap bersih, bebas polusi, dan efisien sejak proses pengambilan, koleksi, hingga pendistribusian ke pusat pengolahan. Pemerintah Kota Tokyo memutuskan kerja sama dalam bentuk subsidi. Total biaya untuk manajemen sampah sekitar 43.335 miliar yen atau sekitar Rp 43 triliun. Post Date : 26 Maret 2014 |