|
BEKASI - Sungai dan saluran irigasi di sekitar lokasi kegiatan eksploitasi migas Pertamina di Babelan tercemar sejumlah logam berat. Hal itu terungkap dari hasil studi analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) pengembangan lapangan minyak dan gas bumi Buni-Tambun, serta pipa transportasi Bekasi dan Karawang, yang dilakukan Pertamina Daerah Operasi Hulu (DOH) Jawa Bagian Barat (JBB) pada 2004. Saat ini, hasil studi Amdal Pertamina yang berhasil diperoleh Pembaruan menunjukkan kadar sejumlah logam berat seperti timbel (Pb), tembaga (Cu), kromium (Cr+6), seng (Zn), dan TDS, sudah melebihi ambang batas baku mutu yang dapat membahayakan apabila dikonsumsi. Pencemaran itu antara lain terjadi terhadap air tanah, saluran irigasi, serta sungai di sekitar stasiun pengumpul (SP) Tambun Siran, dengan ditemukannya dua parameter seperti timbel (Pb) dan tembaga (Cu). Sementara di Kampung Pandeyakan, terdapat satu parameter yaitu TDS. Saluran irigasi di Kampung Singkil menunjukkan tiga parameter, yaitu timbel (Pb), tembaga (Cu), dan TDS. Kemudian di rawa-rawa sekitar Tambun F, Desa Buni Bhakti, serta Sungai Kalima-lang dekat SKG Tegal, ditemukan tiga parameter logam berat kromium (Cr+6), seng (Zn), dan timbel (Pb). Data dari situs Kementerian Lingkungan Hidup menyebutkan, logam berat seperti timbel atau timah hitam (Pb), seng (Zn), krom (Cr), tembaga (Cu), kobalt (Co), kadmium (Cd), nikel (Ni), dan merkuri (Hg), merupakan zat pencemar yang sangat berbahaya dan mematikan. Keberadaan logam berat di perairan akan berdampak negatif, baik langsung maupun tidak, terhadap kesehatan manusia. Kandungan logam berat itu sangat sulit didegradasi atau diuraikan, tetapi sangat mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan, terutama organisme di dalamnya, seperti kerang dan ikan yang sangat berbahaya apabila dikonsumsi. Terkait adanya penemuan pencemaran itu, Manajer Umum Pertamina DOH JBB Bambang Busono, Selasa (25/5) siang, mengatakan, akan mempelajari hal itu. "Saat ini saya sedang di luar kota, jadi belum melihat data. Tapi, kalau memang itu benar ada, pasti akan kita pelajari. Pencemaran, kan, bisa terjadi juga dari penggunaan pupuk dan bahan kimia lainnya yang digunakan dalam pertanian. Tapi, kalau memang pencemaran itu timbul dari kegiatan eksploitasi Pertamina, kita pasti akan lakukan tindakan," katanya. Menurunkan Tim Peneliti Ia menambahkan, pada minggu ini tim dari Institut Pertanian Bogor (IPB) juga akan didatangkan. Tim itu akan meneliti dugaan dampak radiasi dari pembakaran gas buang (flare), yang selama ini dikeluhkan warga sekitar. Radiasi panas dinilai warga mengakibatkan gagal panen. Menanggapi keluhan warga di sekitar Sumur Tambun F, Buni Bhakti, yang mengalami gagal panen akibat resapan minyak bumi dari balong-balong sekitar sumur, Bambang mengatakan juga akan menurunkan tim peneliti. Balong-balong itu sudah dirancang kuat, agar tidak menyebabkan pencemaran di sekitarnya. "Tetapi, tidak menutup kemungkinan terjadi dampak yang merupakan akibat dari faktor-faktor di luar batasan kita," kata Bambang. Berkaitan dengan kemungkinan itu, ia mencontohkan umur balong, atau juga kegiatan masyarakat, yang langsung atau tidak langsung merusak struktur balong itu sendiri. "Misal ketika masyarakat sekitar berusaha membobol, dalam upaya mencari air untuk pengairan sawah mereka saat kemarau. Atau kalau hujan turun terus-menerus, hingga mengakibatkan balong meluap ke sawah sekitarnya. Akan kita teliti, dan pasti setiap kerugian yang terjadi akan kita ganti," ucapnya. Pada minggu ini, pihaknya juga akan membayar ganti rugi kepada warga Buni Baru, Buni Bakti, yang terkena dampak pencemaran bocornya sumur PDT-O1 beberapa waktu lalu. "Nilainya hampir Rp 2 miliar, untuk mengganti kerugian tambak, sawah, dan ternak milik warga," katanya. Pembayaran itu, kata Bambang, tidak akan melalui perantara. Pemerintah Kabupaten Bekasi hanya akan menjadi saksi. Lembaganya saat ini sedang membicarakan mekanismenya, di antaranya kemungkinan membukakan rekening di bank bagi warga dan pembayaran dilakukan langsung ke rekening itu. Bambang menambahkan, nilai ganti rugi yang diberikan kepada warga pun sudah sesuai dengan permintaan warga. Bahkan, nilainya sangat besar. Contohnya, apabila gabah hanya dihargai Rp 1.200/kg di pasaran, Pertamina menggantinya dengan harga dua kali lipat, sekitar Rp 3.000/kg. Terkait permintaan warga agar Pertamina membebaskan lahan di sekitar sumur-sumur Pertamina, hal itu memerlukan pemikiran yang matang. "Kami mau saja membebaskan lahan itu. Tapi, masalahnya, kasihan para petani penggarap yang tidak memiliki lahan. Kerja apa mereka nanti, kalau lahan persawahan itu dibebaskan. Untuk Pertamina, lahan itu juga nantinya akan sia-sia. Lebih baik tetap seperti sekarang. Kami tetap berusaha agar tidak terjadi pencemaran. Namun, apabila terjadi dampak di luar keinginan, Pertamina tetap akan bertanggung jawab," katanya. (B-14) Post Date : 27 Mei 2004 |