|
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil mengatakan institusinya masih mengkaji tujuh aspek rencana proyek insenerator (pembakaran) sampah atau Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), seperti dampak sosial, hukum, relasi Bappenas dan aspek ekonomi. "Sekarang Pemkot sedang fokus mengkaji sisi ekonomi, biaya tiping fee-nya kemahalan," ujar Emil, sapaan akrab Ridwan, saat ditemui di Jalan Surapati, Bandung, Ahad, 31 Agustus 2014.
Emil menilai setoran yang harus dibayar Pemkot Bandung kepada pihak swasta untuk pembakaran sampah menggunakan insenerator itu terlalu besar. Setiap tahun Bandung harus membayar Rp 88 miliar kepada PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL). Perusahaan itu telah ditetapkan sebagai pemenang tender proyek untuk mengelola insenerator.
Menurut Emil, pengeluaran tersebut akan menguras APBD Kota Bandung. Belum lagi jika dibayarkan selama 20 tahun, jumlah setorannya mencapai Rp 1,8 triliun.
Sebelumnya, Emil pernah menyatakan akan mengupayakan gagasan agar Pemkot Bandung memiliki sebagian saham PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL) sebagai pemenang proyek. Dengan demikian, Pemkot tidak rugi jika harus membayar tiping fee ke pihak swasta.
Emil mengatakan gagasan itu masih dalam kajian. Dia belum bisa memastikan kapan proyek PLTSa akan dilanjutkan. "Ini investasi yang mahal, jadi dikaji dulu. Lebih baik mundur dan terlambat daripada cepat tidak maksimal," katanya.
Sejak 2007 rencana proyek PLTSa itu menuai pro dan kontra. Para aktivis lingkungan dan warga Kompleks Griya Cempaka Arum yang dekat dengan lokasi PLTSa terus berunjuk rasa untuk membatalkan proyek.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat dan jaringannya juga mendesak Wali Kota Bandung Ridwan Kamil untuk membatalkan proyek insinerator sampah atau Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Alasannya, pengolahan sampah seperti itu akan meracuni warga lewat udara, berbiaya mahal, serta berpotensi menguras uang rakyat di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Post Date : 01 September 2014 |