|
TERIK matahari siang itu tidak memengaruhi perempuan bercaping untuk menghentikan pekerjaannya. Ganco (besi berlekuk yang ujungnya tajam-Red) yang berada dalam genggaman tangan kanannya juga terlihat mengorek-orek tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Degayu. Jika ada sampah yang masih bisa dipakai, seperti plastik dan kertas, barang-barang itu langsung dimasukkan ke keranjang yang berada di punggungnya. Setelah keranjang penuh sampah, Junatun (40), nama perempuan itu, menuju ke sebuah gubuk sederhana yang berada di lokasi TPA. Selanjutnya, keranjang yang penuh sampah itu dia masukkan ke dalam karung besar lalu diikat. Karung itu lalu disimpan di dalam gubuk. Dia pun kembali bekerja mencari sisa sampah yang masih terpakai. Ya, begitulah aktivitas yang dilakukan ibu delapan anak itu setiap hari. Junatun adalah salah seorang pemulung yang bekerja di tempat itu. Di TPA Degayu, terdapat 117 orang yang terdiri atas 45 keluarga. Bukan hanya orang dewasa yang bekerja mengais sampah, anak usia sekolah pun bekerja di tempat itu. Salah satu warga Kelurahan Krapyak Lor Kecamatan Pekalongan Utara itu menuturkan, lebih dari 15 tahun dirinya bergelut dengan sampah. Junatun bisa menjadi pemulung karena tidak mempunyai keterampilan untuk pekerjaan lainnya. Apalagi sejak kecil dia tidak pandai membaca dan menulis, terpaksa yang bisa dilakukannya mencari sisa sampah. Setelah terkumpul, sisa sampah itu dia jual kepada pengusaha barang bekas. Dia menuturkan, setiap minggu beberapa karung sampah bisa dia kumpulkan dan dibeli oleh seseorang. Hasil penjualan sampah itu setiap minggu tidak menentu. Kalau jumlah barang yang dikumpulkan banyak, kocek yang didapat pun bertambah. "Seminggu sekali saya mendapat uang, itu pun hanya Rp 30.000 - Rp 50.000," kata dia kepada Suara Merdeka. Apakah uang sebanyak itu bisa memenuhi kebutuhan keluarganya selama seminggu? Bagaimanapun caranya, ungkap dia, uang itu harus cukup. Seandainya uang hasil penjualan sampah tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, dia akan utang kepada tetangganya yang mampu. Jika penghasilannya lebih, utang itu akan dia lunasi. "Karena penghasilan saya sedikit, anak-anak saya tidak bersekolah," kata dia. Dulu anaknya ada yang sekolah, tutur dia, tapi mengingat biaya yang dikeluarkan terlalu besar, terpaksa berhenti sekolah. Saat ini dari delapan anaknya, tiga di antaranya bekerja sebagai pemulung, yakni Kiramah, M Sidik, dan Yasid. "Lumayan Mas, penghasilan anak-anak bisa untuk menambah biaya hidup setiap hari," kata dia. (Moch Achid Nugroho -61n) Post Date : 17 Februari 2006 |