|
Jakarta, Kompas - Departemen Keuangan mencatat terdapat 15 proyek yang dibiayai oleh Bank Dunia yang akan direalokasikan ke daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Sementara untuk menutupi kebutuhan dana dalam melaksanakan program rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, pemerintah tetap akan meminta bantuan dalam bentuk hibah sehingga tidak memberatkan anggaran pembangunan bagi daerah lainnya. Saat menjawab pers di Jakarta, Selasa (4/1), Kepala Badan Pengkaji Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional (Bapekki) Departemen Keuangan Anggito Abimanyu menyebutkan bahwa pihaknya telah menyisir sekitar 15 proyek yang akan direalokasi untuk mendukung program rekonstruksi di Aceh. Pada awalnya, ke-15 proyek tersebut diprogramkan untuk daerah-daerah di luar Aceh, antara lain proyek jalur jalan lintas timur Sumatera, pembangunan fasilitas air minum di Nusa Tenggara Timur, dan pembangunan sektor kesehatan di kawasan Indonesia timur. "Proyek-proyek tersebut didanai oleh Bank Dunia. Tetapi, jika digabungkan dengan proyek dari lembaga multilateral lain, jumlahnya bisa lebih dari 15 proyek. Saat ini saya diminta untuk mempercepat proses penilaian atas proyek-proyek itu dan diusahakan dapat direalokasikan ke Aceh," kata Anggito. Sebelumnya, Menteri Keuangan Jusuf Anwar menyebutkan bahwa terdapat proyek- proyek pinjaman Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) yang tidak produktif senilai 3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 27,89 triliun. Pemerintah mengusulkan agar seluruh pinjaman tidak produktif itu direalokasikan untuk perbaikan infrastruktur di Aceh dan Sumatera Utara. Menurut Anggito, pemerintah tengah mengusahakan agar proyek-proyek pinjaman Bank Dunia tersebut direalokasi menjadi hibah untuk Aceh. Dengan perubahan status bantuan dari pinjaman ke hibah tersebut, Indonesia dapat terhindar dari kewajiban pembayaran pokok dan bunga pinjaman. "Mekanismenya, hibah tersebut bisa disalurkan melalui penambahan Dana Alokasi Khusus Aceh dalam APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) mereka sehingga ada keterlibatan masyarakat Aceh untuk mengelola proyeknya dan akan ada rasa memiliki atas proyek tersebut," ujar Anggito. Dana UNDP Anggito menyebutkan bahwa pihak United Nations Development Programme (UNDP) telah memberikan komitmen untuk menyalurkan bantuan sebesar 200 juta dollar AS atau setara dengan Rp 1,86 triliun dalam program penyelamatan korban gempa dan tsunami di Aceh, Sumatera Utara, Thailand, dan Sri Lanka. Indonesia dipastikan akan mendapatkan bantuan terbesar karena menjadi korban terparah dibandingkan dengan negara lain. "Jumlah bantuannya akan terus bertambah karena dana yang sudah terkumpul akan terus keluar masuk. Indonesia akan mendapatkan bantuan terbanyak karena jumlah korban dan kerusakan di Aceh dan Nias memang paling besar. Saya yakin untuk program penyelamatan akan sangat banyak bantuan dalam bentuk hibah, namun untuk program rehabilitasi dan rekonstruksi bisa lebih sulit karena itu berbentuk proyek," papar Anggito. Menurut Anggito, pemerintah dan donor menyepakati bahwa bantuan internasional hanya akan disalurkan berdasarkan kebutuhan yang ditemukan dalam program penilaian dampak bencana yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Oleh karena itu, Indonesia masih menunggu hasil penilaian atas dampak bencana tersebut sebelum mengajukan jumlah bantuan yang diperlukan secara resmi. "Kita bahkan belum bisa masuk ke berbagai daerah yang mengalami kerusakan paling parah sehingga angka pasti mengenai kerugian dan kerusakan yang dialami masih terus berubah. Khusus untuk UNDP, program yang dikoordinasi mereka adalah untuk program penyelamatan yang akan berlangsung sekitar enam bulan," kata Anggito. Sisi politis Sementara itu, Menteri Keuangan Jusuf Anwar menegaskan bahwa pemerintah akan menilai setiap bantuan yang akan diberikan oleh dunia internasional dari segala sisi, termasuk dari sisi politisnya. Penilaian atas sisi politis tersebut akan dilakukan oleh Departemen Luar Negeri, termasuk di antaranya adalah penilaian atas tawaran moratorium utang yang telah diungkapkan oleh beberapa negara kreditor secara tidak resmi. "Akan kita tindak lanjuti dengan delegasi dari negara-negara dan lembaga donor, terutama untuk mengetahui kebenaran dari tawaran ini. Nanti, jika kita datang ke sana dan ternyata mereka tidak menawarkan moratorium, maka kita jadi kecele. Dari Departemen Luar Negeri sedang dicek segi politiknya," kata Jusuf. Menurut Jusuf, pemerintah telah menetapkan rencana penghimpunan bantuan luar negeri untuk Aceh tersebut dengan melakukan pembicaraan bilateral dengan negara-negara dan lembaga-lembaga donor. Pembicaraan bilateral dengan donor-donor dunia tersebut telah diatur oleh Sekretariat Negara. "Ada pertemuan bilateral dengan Presiden Bank Dunia dan ADB. Keduanya donor terbesar di CGI (Consultative Group on Indonesia) dan mereka sedang mengajukan pencairan dana untuk membantu Aceh," kata Jusuf. Penilaian dampak Jusuf memastikan bahwa pemerintah akan menyampaikan penilaian atas dampak bencana tsunami di Aceh dan Sumatera Utara dalam Konferensi Khusus Para Pemimpin ASEAN Pascagempa Bumi dan Tsunami. Presentasi tentang penilaian atas dampak bencana tsunami yang akan disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan difokuskan untuk memperoleh bantuan internasional sebanyak mungkin. "Kepedulian dan bantuan internasional itu sekarang bisa terkumpul hingga 1 miliar dollar AS. Hal itu akan dapat meringankan beban pemerintah karena dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) kita sendiri sudah banyak tantangan. Kita terus bekerja," ujar Jusuf lebih lanjut. Sementara itu, Konsultan Ekonomi Kementerian Koordinator Perekonomian M Ikhsan mengatakan, sebaiknya pemerintah mulai memikirkan untuk memperjuangkan bantuan pinjaman lunak untuk Aceh dan Sumatera Utara melalui mekanisme multilateral. Salah satu upaya tersebut dilakukan melalui Paris Club, yang dapat memberikan peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan keringanan beban utang luar negeri. "Sering kali kita merasa hebat dengan melakukan pembicaraan bilateral, padahal itu sulit," kata Ikhsan. (oin) Post Date : 05 Januari 2005 |