|
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Kuntoro Mangkusubroto menekankan agar klausul budidaya dalam rencana Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Karst bukan untuk tambang. Eksploitasi karst berpotensi menghancurkan ekosistem karst yang salah satu fungsinya sebagai cadangan air. ”Air ini sangat penting. Jangan gunakan karst untuk kegiatan tambang,” kata Kuntoro, Jumat (21/3), di Jakarta. Arti penting karst sebagai cadangan air alami tersebut diungkapkannya terkait Hari Air Sedunia yang diperingati setiap 22 Maret. Ia menyatakan belum membaca RPP tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Karst yang sedang disusun Kementerian Lingkungan Hidup. Hanya, saat dirinya menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi, ia pernah mengeluarkan surat keputusan untuk melindungi ekosistem karst. Selain penting bagi cadangan air, kawasan karst memiliki fungsi keanekaragaman hayati, peninggalan arkeologi, hingga jasa lingkungan lain. Sayangnya, banyak kawasan karst yang kini terancam industri semen yang membutuhkan bahan baku gamping, penyusun utama batuan karst. Beberapa ancaman masuknya pertambangan dan yang telah terjadi, di antaranya ada di Pati, Wonogiri, dan Kebumen di Jawa Tengah, serta Gunungkidul di DI Yogyakarta. Upaya eksploitasi untuk kebutuhan industri itu menimbulkan pertentangan di antara warga. Pada peringatan ulang tahun ke-50 Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung (Wanadri), 5 Maret 2014, di Jakarta, Kuntoro—yang juga anggota senior organisasi itu—memohon kepada Wakil Presiden Boediono untuk mempertahankan keberadaan kawasan karst Sangkulirang (Kalimantan Timur) dan Maros (Sulawesi Selatan). ”Di bukit-bukit karst terdapat lukisan goa yang luar biasa. Jejak budaya nenek moyang kita,” kata dia. Dihubungi sebelumnya, Eko Haryono, pakar karst dari UGM Yogyakarta, mengatakan, RPP Karst yang disusun KLH sudah sangat ketat. ”Banyak yang meminta agar RPP diubah. Karena kalau melihat isinya, karst dilindungi semua. Hampir tidak ada celah untuk budidaya,” kata dia yang turut menyusun RPP. Peluang dipersempit Pada draf RPP Karst, kriteria lindung kawasan karst di antaranya meliputi memiliki goa-goa, mata air/sungai bawah tanah, merupakan kawasan konservasi, dihuni fauna endemik, hingga jejak budaya. Dengan kriteria itu, ruang budidaya kawasan karst sangat dipersempit. Ia mengatakan, saat ini mata air semakin terancam karena debit air semakin mengecil seiring makin mengecilnya pula daerah tangkapan air. Akibat minimnya pasokan ke dalam ”kapur”, air lebih banyak menjadi air larian atau air permukaan. Meski demikian, ancaman untuk tujuan investasi masih terus terjadi, seperti di Pegunungan Karst Kendeng. Masyarakat di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah, menolak rencana pembangunan semen yang membutuhkan material gamping dari karst. ”Secara regulasi pengelolaan karst kita sudah sangat konservatif. Akan tetapi, implementasi di lapangan sering terbentur dengan kebijakan atau politik di daerah,” ujarnya. (ICH) Post Date : 24 Maret 2014 |