|
JAKARTA, KOMPAS — Ancaman banjir masih mengintai Jakarta karena puncak hujan di wilayah Jabodetabek belum berakhir. Selain waduk, penguatan tanggul-tanggul sungai juga perlu menjadi perhatian utama agar potensi banjir di Ibu Kota tak semakin parah. Jika tidak diperhatikan, infrastruktur banjir bisa jebol seperti yang dialami Kanal Barat. Tanggul Kanal Barat sudah dua kali jebol selama 2013. Tahun lalu, tanggul Kanal Barat pertama kali jebol pada Januari di Jalan Latuharhari, sementara yang kedua terjadi pada Desember di kawasan Bendungan Hilir, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Hingga Minggu (26/1), tanggul Kanal Barat yang jebol di Bendungan Hilir masih dalam perbaikan. Pemasangan pancang baja sepanjang 60 meter untuk menutup sisi tanggul yang ambrol telah selesai. Tinggal pemasangan ground anchor untuk memperkuat pancang baja tersebut. ”Ada 20-25 titik untuk pemasangan ground anchor itu dan kami perkirakan selesai dalam 25 hari. Meski demikian, bisa dikatakan, begitu pancang baja telah terpasang sebenarnya sudah kuat dan aman. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” ujar Fachta, pelaksana lapangan PT Jaya Konstruksi, kemarin. Memasang lapisan baja di titik yang terletak 50-an meter dari Pintu Air Karet itu tidak mudah. Sebab, di atas titik jebolnya tanggul terpasang jaringan listrik dari jaringan sambungan tegangan tinggi. Kondisi ini cukup menyulitkan dalam pengoperasian alat berat. Di beberapa titik juga tertanam kabel listrik PLN. Perbaikan tanggul yang dikebut itu cukup membuat warga merasa tenang. Tarsiyem, warga RT 008 RW 007 Bendungan Hilir, yakin air Kanal Barat tidak akan sampai meluap ke permukiman. ”Ketika baja itu belum menutup seluruh bagian tanggul yang jebol, saya masih cemas,” kata Tarsiyem. Jebolnya tanggul Kanal Barat di Bendungan Hilir ini disebabkan ulah warga yang menggunakan lahan di tepi tanggul itu untuk tempat parkir kendaraan dan penimbunan material beton. Belum diaudit Menurut praktisi tata kelola air dari Universitas Indonesia, Firdaus Ali, sampai sekarang seluruh tanggul dan pintu air di DKI belum pernah diaudit menyangkut spesifikasi bahan, spesifikasi konstruksi, penuaan, dan kekuatan alam yang merusak bangunan. Padahal, seharusnya sejak infrastruktur tersebut dibangun, dipelihara, direnovasi, sampai dibongkar dan dibangun lagi yang baru, harus ada catatan audit. ”Tidak ada catatan satu pun mengenai usia pakai dan kekuatan tanggul-tanggul serta pintu air di seluruh Jakarta. Yang dilakukan dinas dan Kementerian Pekerjaan Umum cuma tambal sulam. Peristiwa dahsyat akibat dampak jebolnya tanggul Situ Gintung, Ciputat, Maret 2009, belum membuat kedua lembaga ini melakukan audit,” ujarnya. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tidak menaati Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2012 tentang Sungai. PP ini adalah turunan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. ”Di dalam PP tersebut sebenarnya sudah diatur standar bahan dan konstruksi tanggul yang akan dibangun. Namun, sepengamatan saya, tidak satu pun tanggul dan pintu-pintu air di Jakarta memiliki spesifikasi sesuai PP 38 tersebut,” ujar Firdaus. Pada Selasa (21/1), tanggul Sungai Ciliwung di RT 009 RW 009, Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan, jebol sekitar pukul 21.30. Pada Minggu (19/1), tanggul Kali Sekretaris di Jalan Tanjung Duren Utara, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, retak dan miring karena tidak kuat menahan derasnya arus Kali Sekretaris. Firdaus menjelaskan, tanggul dan pintu-pintu air di Jakarta masih sangat minim pemeliharaan dan pengawasan. ”Sejak dibangun, sebagian besar spesifikasi bangunan diubah karena praktik korupsi. Hal ini bisa terjadi karena tidak pernah ada audit,” ucapnya. Baja pintu air yang ketebalannya minimal harus satu sentimeter diganti dengan baja setebal enam sampai delapan milimeter seperti yang terjadi di Pintu Air 10, Bendungan Pasar Baru, Tangerang, Banten. Tidak adanya pengawasan terhadap bertambahnya usia bangunan serta kekuatan alam yang menggerus daya tahan tanggul dan pintu-pintu air itu, antara lain, membuat tanggul Kali Sekretaris jebol. Faktor lain yang membuat tanggul dan pintu-pintu air rusak adalah okupasi terhadap kawasan bantaran dan sempadan kali, seperti yang terjadi pada Kanal Barat di ruas Tanah Abang. ”Yang ideal memang setiap kali dan saluran penghubung diapit jalan inspeksi. Tidak boleh ada bangunan apa pun, baik permanen maupun semipermanen, selain bangunan yang terkait dengan usaha pemeliharaan dan pengawasan tanggul serta pintu-pintu air,” ujar Firdaus. Di Pluit, Jakarta Utara, lanjut Firdaus, bahkan ada tanggul dijebol warga agar mereka bisa membangun jembatan. ”Inilah contoh buruk perilaku warga sekaligus contoh buruk lemahnya pengawasan Pemprov DKI,” ucap Firdaus. Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Manggas Rudy Siahaan mengatakan, setiap kanal dan sungai di Jakarta akan dibersihkan dari hunian di kawasan bantaran dan bibir sungai. Di setiap sisi kanal dan sungai itu akan dibangun jalan inspeksi. Dengan demikian, keamanan tanggul-tanggul sungai di Jakarta dapat terpelihara. Untuk mengatasi banjir, Pemprov DKI, menurut Wali Kota Jakarta Utara Heru Budi Hartono, berencana membangun waduk di wilayah Kapuk dan Cilincing, Jakarta Utara. (WIN/PRA/PIN/MDN/MKN) Post Date : 27 Januari 2014 |