|
JAKARTA, KOMPAS — Jakarta menghadapi masalah serius dalam hal ketahanan air. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Rabu (8/10), mengatakan, ketahanan air Jakarta hanya 2,2 persen. Jumlah itu sangat kecil jika dibandingkan dengan Singapura yang mencapai 68 persen. Basuki mengibaratkan, Jakarta dikepung dan ditutup sumber airnya selama sepekan saja, kota ini sudah menuju kematian. Tanpa penegakan hukum terhadap pelanggaran aturan penggunaan air bersih, selamanya Jakarta dihantui masalah ketahanan air. Hal ini, menurut Basuki, sangat mengherankan karena Jakarta dilintasi 13 sungai besar. Waduk dan situ juga banyak terdapat di Jakarta, tetapi tidak bisa meningkatkan ketahanan air. ”Jakarta bisa mendapat tambahan air baku dari Jatiluhur 20 persen. Namun, kebocoran air karena penggunaan ilegal dan pencurian sampai 40 persen. Semua kembali ke penegakan hukumnya,” ujar Basuki. Dia menduga ada permainan dalam pengelolaan air bersih sehingga masih banyak warga yang belum bisa menikmati air bersih. Selain itu, penggunaan air bawah tanah juga masif sehingga mempercepat penurunan muka tanah di sebagian wilayah Jakarta. Stop gunakan air tanah Basuki memerintahkan operator penyedia air bersih di Jakarta menekan tingkat kehilangan air dan mempercepat pemasangan sambungan pipa. Mulai tahun depan, di seluruh wilayah Jakarta Utara tak diperbolehkan menggunakan air bawah tanah. Aturan ini secara bertahap akan diberlakukan di wilayah lain di Jakarta. Direktur Utama PAM Jaya Sri Widayanto Kaderi mengatakan, pihaknya terus berupaya meningkatkan ketahanan air dengan menambah instalasi pengolahan air. ”Kami akan membangun instalasi mobil (bergerak). Kami masih kesulitan membangun instalasi di Waduk Pluit. Sementara instalasi di Sunter justru kami tutup karena tidak ada air baku,” ujarnya. Data Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta menyebutkan hanya 3 persen pasokan kebutuhan dari sungai di Ibu Kota. Sementara ini 97 persen kebutuhan air baku lokal dipenuhi pasokan dari Waduk Ir Juanda di Jatiluhur (Purwakarta), Sungai Cisadane, dan pembelian dari Tangerang. BPLHD mencatat kebutuhan air bersih 2015 sebanyak 14.770 liter per detik. Adapun prediksi pasokan air sampai tahun depan hanya 10.099 liter per detik. Artinya, masih ada kekurangan 4.671 liter per detik. Karena minim pasokan air bersih, penggunaan air bawah tanah tak dapat dihindari. Operator air bersih, PT Aetra Air Jakarta, mencatat penggunaan air bawah tanah pada kurun waktu 2013- 2014 sebesar 170.000 meter kubik per tahun. Eksploitasi air bawah tanah itu di antaranya 200.000 dari sektor komersial, 55 titik eksploitasi dari sektor industri, dan 44 instansi pemerintah. Presiden Direktur PT Aetra Air Jakarta Mohamad Selim menyayangkan hal itu. Selim berharap masyarakat luas menyadari ketahanan air Jakarta dalam kondisi kritis. Dia mendorong agar pengguna air bawah tanah beralih menggunakan air bersih di jaringan perpipaan. Agar penggunaan air bawah tanah semakin kecil, pemerintah harus menegakkan Peraturan Gubernur Nomor 86 Tahun 2012 tentang Nilai Perolehan Air Tanah sebagai Dasar Pengenaan Pajak Air Tanah. Berkali-kali pemerintah diingatkan agar segera menambah air baku. Sebab, eksploitasi air bawah tanah berangkat dari krisis air baku dari jaringan pipa. Ahli hidrologi Universitas Indonesia, Firdaus Ali, mengatakan, penambahan air baku mutlak dilakukan sebelum persoalan semakin serius. Salah satu skenario penambahan air baku yang sering disampaikan Firdaus adalah memanfaatkan Teluk Jakarta sebagai tempat menyimpan cadangan air bersih. (FRO/NDY) Post Date : 09 Oktober 2014 |