|
Jakarta, Tribun - Pembangunan sektor air minum dan penyehatan lingkungan belum menjadi agenda utama para pengambil keputusan di Indonesia. Anggaran untuk pembiayaan air minum masih terbatas. Hasil studi pembiayaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) tahun 2003-2005, anggaran untuk air minum dan penyehatan lingkungan hanya 0,01 persen sampai dengan 1,37 persen dari belanja Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Sampai saat ini lebih dari 100 juta penduduk yang tersebar di 30 ribu desa masih kesulitan memperoleh akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi dasar. Buruknya pelayanan air minum dan sanitasi merupakan kendala serius dalam mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Kenyataan itu diungkapkan Ketua Pelaksana Harian Jejaring AMPL Oswar Mungkasa, pada diskusi AMPL dalam Ranah Politik Indonesia, Selasa (13/1) di Jakarta. "Pengalaman dari berbagai negara, krisis air bersih yang sangat berkaitan dengan sanitasi itu makin diperburuk oleh ketiadaan tekad pada pemimpin. Sehingga problem dasarnya bukan sekadar krisis keterbatasan air bersih, namun lebih pada kurangnya kemauan politik untuk mencari solusi atas krisis air dan sanitasi," katanya. Akibat air dan sanitasi yang buruk, data pada Direktorat Penyehatan Lingkungan Depkes RI menyebutkan; kasus diare 423 per 1000 orang , dan angka kematian tertinggi terjadi pada kelompok anak berusia di bawah lima tahun, yaitu 75 per 100 ribu orang. Kemudian, 350 sampai 810 orang pada setiap 100 ribu orang penduduk terpapar tipus, dengan laju kematian 0,6 sampai 5 persen. Sekitar 35,5 persen penduduk Indonesia diperkirakan terpapar cacingan. Menurut laporan World Bank tahun 2008, dampak kesehatan akibat pengelolaan air dan sanitasi yang buruk, menyebabkan Indonesia kehilanga n Rp56 triliun per tahun atau sekitar 2,3 persen dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Oswar Mungkasa menjelaskan, Indonesia termasuk salah satu dari 189 negara anggota PBB yang mencanangkan target Millenium Development Goals (MDGs) dalam upaya mengurangi kemiskinan dengan car a menetapkan target-target tertentu yang harus dicapai sampai tahun 2015. Salah satunya adalah melalui pelayanan akses air minum dan sanitasi dasar. Berdasarkan target MDGs menurunkan separuh proporsi penduduk tanpa akses terhadap air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015, Indonesia dihadapkan pada dua tantangan. Pertama, tantangan untuk meningkatkan hin gga 67 persen proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap sumber air minum yang aman. Kedua, tandangan untuk meningkatkan hingga 69,3 persen proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi dasar. Pengamat Sosial Politik dari Charta Politika Indonesia Dr Bima Arya Sugiarto, mengatakan, lemahnya kemauran politik dalam menangani pelayanan publik, bisa dilihat dari pemetaan isu-isu yang diangkat pada masa kampanye pilpres maupun pilkada. "Partai politik masih bertumpu pada politik iconic, bertumpu pada kekuatan tokoh dan simbol. Partai politik sangat terkendala untuk membangun politik programatik," katanya. Namun demikian, lanjutnya, terdapat kecenderungan pergeseran arah kampanye dari model iconic ke arah programatik. Walaupun kampanye tersebut masih sebatas isu-isu populis, instan dan menyangkut kebutuhan dasar. Menurut Bima, perlu diperkuat forum ekspert politisi dan aktivis untuk merumuskan kampanye programatik. Peningkatan kapasitas komunikasi politik dan pengemasan isu pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan bagi politisi partai penting dan akan menjadi daya tarik konstituen. Senada dengan itu, Konsultan Komunikasi Politik Irfan Wahid mengatakan AMPL bisa dijadikan isu publik yang sexy and selling dengan komunikasi terpadu. "Pemilihan media yang tepat akan sangat membantu isu AMPL ini naik ke permukaan. Isu AMPL harus dikomunikasikan dengan stopping power yang tinggi agar mampu menyita perhatian publik," ujarnya.(*) Post Date : 13 Januari 2009 |