|
Sepuluh tahun telah berlalu sejak kontrak konsesi layanan air Jakarta ditandatangani pada awal Juni 1997. Kontrak konsesi ini adalah antara Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta (Pam Jaya) dengan dua operator swasta, yaitu PT Thames Pam Jaya (TPJ) yang belakangan berubah nama menjadi PT Aetra dan PT Pam Lyonnaise Jaya (Palyja). Palyja sahamnya sebagian besar dimiliki oleh Suez Environment dari Prancis, sementara TPJ semula dimiliki oleh Thames Water dari Inggris dan sejak awal 2007 telah berpindah tangan ke Acuatico. Dua perusahaan swasta ini masing-masing memperoleh hak tunggal untuk menyediakan layanan air minum bagi seluruh penduduk Jakarta. Setelah sepuluh tahun layanan kepada penduduk Jakarta diubah secara signifikan, dari yang semula oleh perusahaan milik pemerintah daerah menjadi dikelola oleh swasta profesional kaliber dunia di sektor air, tentu kita patut mempertanyakan apakah selama sepuluh tahun ini telah terjadi peningkatan secara menyeluruh atas layanan air minum di Jakarta? Sayang, jawabannya adalah tidak. Data terakhir yang diperoleh dari Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta (lihat tabel) menyatakan, dari 5 target teknis yang dimandatkan dalam kontrak, hanya satu yang tercapai. Kelima target tersebut adalah produksi air, tingkat kebocoran, volume air terjual, jumlah koneksi, dan rasio cakupan layanan. Dan yang terpenuhi hanyalah poin yang pertama, yaitu produksi air. Lainnya masih jauh dari target yang ditetapkan. Tabel tersebut jelas bukan sebuah potret yang menggembirakan, apalagi kita semua tentunya maklum bahwa angka dalam data tersebut adalah angka yang sangat generous karena diperoleh Badan Regulator dari operator dan relatif sulit bagi siapa pun untuk melakukan monitoring atau pengecekan terhadap sebuah data teknis detail. Biaya Tinggi Salah satu alasan pemerintah membuka peluang bagi swasta masuk ke sektor air minum adalah ketidakmampuan pemerintah menyediakan investasi yang dibutuhkan untuk pengembangan layanan air minum. Dan diharapkan swasta dapat menutup kebutuhan investasi ini dengan dana yang mereka miliki. Sayangnya, dalam banyak kasus, swasta yang masuk pun tidak memiliki dana yang cukup untuk diinvestasikan langsung sehingga tetap investasi dibiayai oleh pinjaman, baik dari bank maupun pasar modal. Mengingat bahwa bunga pinjaman oleh swasta selalu lebih tinggi dibandingkan bunga pinjaman oleh pemerintah, maka tentu saja sebetulnya pembiayaan layanan air oleh swasta yang didanai pinjaman akan lebih membebani konsumen karena bunga pinjaman lebih besar dan pembayaran pinjaman pasti dibebankan pada konsumen melalui tarif air. Hal ini persis seperti yang terjadi pada kasus konsesi air Jakarta. Palyja dalam Laporan Keuangan mereka secara jelas mengungkapkan bahwa sebagian besar dana investasi mereka diperoleh dari pinjaman dua buah bank, yaitu European Investment Bank dan Calyon Merchant Bank Asia Ltd. senilai kurang lebih US$ 55 juta. Dan untuk membayar pinjaman berikut bunganya, perusahaan ini lagi-lagi melakukan pinjaman, kali ini melalui pengeluaran obligasi di Bursa Efek Surabaya senilai Rp 650 miliar. Setelah sebagian digunakan untuk membayar lunas utang, Palyja masih menggunakan sisa dana penerbitan obligasi untuk investasi dan modal kerja. Pada bulan Juli 2006, perusahaan ini masih terus melakukan manuver keuangan, yaitu dengan menjual 49 persen saham ke Astratel dan Citigroup. Beberapa kalangan yakin bahwa penjualan ini dilakukan untuk memperoleh dana segar guna membayar bunga obligasi. Terus mendulang uang dari konsumen dan investor, tampaknya memang menjadi satu ciri dari operasi Suez -pemilik mayoritas saham di Palyja-selama satu dekade beroperasi di Jakarta. Di luar berbagai manuver keuangan yang digambarkan di atas, setiap tahun Suez juga memperoleh penghasilan dari know how licence fee yang diterima dari Palyja. Nilai dari fee lisensi ini cukup besar, yaitu 4 persen dari pendapatan tahunan perusahaan. Di luar inipun Suez masih menerima kompensasi atas bantuan di bidang sumber daya manusia, keuangan, hukum, teknik, dan manajemen. Bisnis air di Jakarta tampaknya memang sangat menguntungkan, di luar berbagai pendapatan di atas, tiap bulan paling tidak masing-masing operator akan memperoleh penghasilan dari penjualan air sebesar Rp 900 miliar. Dengan pendapatan sebesar ini, sepantasnyalah operator layanan air Jakarta segera meningkatkan kinerja mereka. Apalagi sejak 2004, Gubernur dengan persetujuan DPRD telah memberi tambahan kemudahan berupa kenaikan tarif otomatis setiap enam bulan sekali. Bentuk pemberian dukungan seperti ini seharusnya disikapi operator dengan tanggung jawab yang lebih besar untuk memberikan layanan yang lebih optimal kepada penduduk Jakarta. Nila Ardhianie, Direktur Amrta Institute for water literacy. Post Date : 20 Oktober 2008 |