Sejumlah Warga Beli Air Bersih

Sumber:Kompas - 23 Agustus 2013
Kategori:Air Minum
WONOGIRI, KOMPAS — Kesulitan air bersih akibat musim kemarau mulai melanda sejumlah wilayah Jawa Tengah, termasuk Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Kudus. Sejumlah warga terpaksa membeli air bersih karena persediaan di bak penampungan air hujan telah menipis.

Wakijo (76), warga Gambir Manis, Kecamatan Pracimantoro, Wonogiri, mengatakan, persediaan air bersih hasil menadah air hujan yang ditampung dalam bak penampungan sudah habis. ”Di sini satu-satunya sumber air bersih dari air hujan. Namun, hampir satu bulan ini tidak ada hujan sehingga persediaan habis,” katanya di Gambir Manis, Wonogiri, Kamis (22/8).

Wakijo memiliki bak penampungan yang mampu menampung air hujan sekitar 10.000 liter. Air bersih itu digunakan untuk minum, memasak, dan berbagai keperluan rumah tangga lain. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, Wakijo membeli air bersih seharga Rp 100.000 per satu truk tangki berisi 5.000 liter.

”Air bersih harus dibeli karena tidak ada sumur. Di sini berbatu sehingga warga tidak bisa membuat sumur,” ujarnya.

Di Gambir Manis, telaga alam juga sudah mengering karena kemarau. Menurut Sakiyem, warga Pracimantoro, musim hujan yang relatif panjang tahun ini menguntungkan warga karena persediaan air tadah hujan terjaga lebih lama.

Pelaksana Tugas Camat Pracimantoro Warsito mengungkapkan, sudah banyak warga di desa-desa yang rawan kekeringan membeli air bersih untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan rumah tangga lain. Harga air satu tangki berukuran 5.000 liter berkisar Rp 100.000-Rp 130.000. Harga itu tergantung dari jarak desa dengan sumber air.

Menurut Warsito, sembilan desa dari 17 desa dan satu kelurahan di Pracimantoro mengalami rawan kekeringan dan kesulitan air bersih. Namun, belum ada permintaan bantuan air bersih dari warga karena saat ini baru awal kemarau.

Kepala Seksi Bina Perlindungan Masyarakat Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat Wonogiri Suraji mengungkapkan, 43 desa di delapan kecamatan di Wonogiri rawan kekeringan dan kesulitan air bersih. Beberapa kecamatan itu di antaranya Pracimantoro, Giritontro, Paranggupito, dan Eromoko. Untuk mengantisipasi krisis air bersih, Pemerintah Kabupaten Wonogiri menyiapkan dana sebesar Rp 100 juta dari anggaran dana tak terduga.

Melon terganggu

Sutomo (40), warga Desa Kalirejo, Kabupaten Kudus, mengatakan, lahan melon kekurangan air sejak 1,5 bulan lalu. Hal itu menyebabkan melon tidak tumbuh normal karena daun-daunnya mengering.

Dalam kondisi normal, berat melon bisa mencapai 3 kilogram. Karena kekeringan, berat melon hanya 1,5 kilogram-2 kilogram, bahkan beberapa di antaranya di bawah 1 kilogram.

”Pada panen tahun ini, saya perkirakan hanya mendapat Rp 4 juta. Seharusnya saya bisa memperoleh Rp 6 juta,” kata Sutomo, pemilik seperempat hektar lahan melon.

”Hujan sudah tidak turun lagi. Air irigasi dari Waduk Kedungombo baru akan mengalir pada awal September. Saya terpaksa menyirami tanaman melon dengan air sumur gowak,” kata Masmin (80), petani lain.

Pelaksana Tugas Camat Undaan M Chasin Bisri mengemukakan, kekeringan memang melanda tanaman buah dan palawija pada musim tanam ketiga ini, tetapi hanya sebagian kecil lahan, terutama yang terlambat tanam.

Situasi Palue

Sementara itu, ribuan warga di Pulau Palue, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, kekurangan air bersih. Tidak ada sungai di pulau itu sehingga warga sangat bergantung pada air hujan. Air sumur tidak dapat dikonsumsi karena berasa asin.

Camat Palue Laurensius Regi di Uwai, ibu kota Kecamatan Palue, Kamis, mengatakan, masyarakat di pulau itu bergantung penuh pada air hujan. Di setiap rumah penduduk terdapat bak air berukuran sekitar 3 meter x 3 meter dan 3 meter x 4 meter sebagai persediaan selama musim kemarau.

”Hanya ada sumber air panas, tetapi tidak dapat dikonsumsi langsung karena mengandung belerang. Air itu dapat dikonsumsi setelah melalui penyulingan. Untuk mendapatkan sekitar 10 liter air bersih, butuh waktu 4-5 jam penyulingan. Kondisi ini sangat merepotkan warga mendapatkan air bersih secara mudah,” kata Regi.

Musim hujan di pulau itu hanya empat bulan, Desember-Maret. Selama empat bulan itu, semua bak penampungan di rumah penduduk penuh diisi air. Namun, air sebanyak itu hanya untuk memenuhi kebutuhan sampai Agustus. Itu pun hanya untuk minum dan memasak.

Pada September-November, mereka mengambil air hasil sulingan dari air panas dekat Gunung Rokatenda dengan jarak 3-7 kilometer untuk minum dan memasak. (KOR/HEN/RWN/EGI)


Post Date : 23 Agustus 2013