Brebes, Kompas - Jembatan Sungai Babakan di Desa Kemurang Wetan, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, putus, Jumat (5/2) sekitar pukul 02.00. Sekitar 900 keluarga di Pedukuhan Kalenjukung dan sekitar 100 keluarga di Tegongan, Kecamatan Tanjung, terisolasi karena kehilangan akses jalan.
Jembatan runtuh tepat di bagian tengah sepanjang sekitar 24 meter dari panjang total jembatan 160 meter.
Kepala Desa Kemurang Wetan Nuridin menduga bahwa jembatan runtuh ke sungai karena tiang penyangga jembatan tidak mampu menahan arus air yang deras. Saat itu air sungai penuh akibat hujan sejak sore hari sebelumnya.
Selain itu, sekitar tiang penyangga jembatan dipenuhi sampah sehingga beban tiang makin berat. ”Apalagi, bagian bawah tiang sudah berlubang,” katanya.
Akibatnya, warga kesulitan keluar dari wilayahnya. Sebagian warga nekat menyeberangi sungai selebar 2,5 meter, sebagian lain memilih memutar lewat desa lain dengan jarak tempuh dua kali lipat. ”Yang repot, hasil pertanian sulit terangkut,” ujarnya.
Jembatan itu, menurut Nuridin, dibangun pada Maret 2003. Pembangunan jembatan darurat dari bambu belum bisa dilakukan karena arus masih deras.
Suntiah (53), warga Desa Kemurang Wetan, mengatakan, keberadaan jembatan sangat penting bagi warga. Ia berharap agar pemerintah segera memperbaiki jembatan sehingga aktivitas warga kembali normal.
Anak-anak sekolah banyak yang tidak masuk sekolah. Menurut Kepala SD Negeri Kemurang Wetan 02 M Dakri, dari 300 siswa, sebanyak 150 siswa tidak ke sekolah. ”Mereka belajar di rumah,” katanya.
Imam Nurohman (15), siswa kelas III SMP Negeri 03 Tanjung, mengaku tetap berangkat ke sekolah. Ia berjalan kaki memutar lewat desa lain dengan jarak tempuh sekitar 40 menit. Biasanya waktu tempuh hanya 20 menit.
Kepala Kantor Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Brebes Raiskhana meminta masyarakat serta perangkat desa dan kecamatan membuat jembatan darurat terlebih dulu, misalnya menggunakan bambu atau batang pohon kelapa. Menurut dia, perbaikan permanen tak bisa segera dilakukan karena harus menunggu air surut.
Rendam tiga desa
Banjir juga kembali merendam tiga desa di Kecamatan Balerejo, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, akibat meluapnya Sungai Muneng, anak Sungai Jerohan, pada Jumat. Akhir 2009 banjir juga melanda wilayah itu.
Tiga desa tersebut, yakni Desa Pacinan, Banaran, dan Sogo, mulai terendam sekitar pukul 08.00. Setidaknya 48 rumah terendam setinggi 30-50 cm. Jalanan di tiga desa terendam air setinggi hampir 1 meter.
Sawah 22 hektar di Desa Pacinan dan Banaran juga terendam. Tanaman padinya berusia 30-50 hari. Adapun di Desa Sogo, yang terendam adalah areal tanaman tebu seluas 7 hektar.
Kepala Desa Pacinan Susul dan Kepala Desa Banaran Hariono mengatakan, produksi tanaman padi bisa turun. Adapun tanaman tebu, menurut Kepala Desa Sogo Didik, harus dipupuk lagi.
Di Pacinan, plengsengan sungai sepanjang 15 meter yang baru dibangun tahun lalu ambrol. Jalan yang baru diperbaiki juga rusak lagi.
Sampah
Di Palembang, Sumatera Selatan, sampah masih terlihat mengapung di Sungai Radial dan beberapa sungai yang mengalir di sepanjang Jalan Jenderal Ahmad Yani. Hal ini menyebabkan Palembang sering kebanjiran.
Padahal, petugas kebersihan Dinas Kebersihan dan Pemakaman Kota Palembang sudah menambah jadwal pembersihan sungai dari satu kali menjadi dua kali sehari. ”Kami membersihkan sungai pagi dan sore, tetapi sungai sulit bersih karena sampah terus datang,” kata Sarifudin, petugas kebersihan.
Volume sampah di satu sungai bisa mencapai satu truk sedang atau setara 10 meter kubik per hari. Jumlah sungai yang mengalir di Palembang ada 60 buah. Menurut Sarifudin, mayoritas sampah adalah plastik dari pasar tradisional atau rumah warga.
Heriadi (35), warga Lorong Haji Umar, Kelurahan 9-10 Ulu, mengatakan, banyak tetangganya lebih suka membuang sampah ke sungai karena praktis. Untuk membuang sampah ke tempat penampungan sementara, warga harus berjalan beberapa puluh meter.
Wali Kota Palembang Eddy Santana Putra mengatakan, pemerintah kota memprogramkan pengerukan sungai sebulan sekali. Biayanya Rp 1 miliar per tahun.
Sementara itu, gelombang setinggi 2,5-3,5 meter diperkirakan terjadi di pantai timur Sumatera. Nelayan di Jambi diimbau untuk tidak melaut dalam tiga hari hingga sepekan ke depan. Hal itu dikemukakan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Provinsi Jambi RL Tobing. (WIE/APA/YOP/ONI/ITA)
Post Date : 06 Februari 2010
|