|
Pukul tiga sore, Hadi (28), warga RT 005 RW 005, Kelurahan Kapuk Muara, Jakarta Utara, menuruni tangga di tepi sungai depan rumahnya menuju sampan miliknya. Sampan Hadi sudah retak di sana-sini dan berwarna merah kusam karena dimakan waktu. Di dalam sampan tersebut terdapat sebuah karung, serok, dan sebuah dayung. Tak lama setelah itu, Hadi segera mengarungi Kali Angke. Sampah tampak berserakan hampir di sepanjang kali. Bau sampah yang tidak sedap segera menyengat hidung. Sampah tersebut merupakan sampah rumah tangga yang dihasilkan warga sekitar Kali Angke, Pesing, dan Kali Jodo. Bagi sebagian orang, sampah-sampah yang berserakan itu tidak berharga sehingga dibuang begitu saja ke kali. Namun, bagi Hadi dan puluhan warga RT 005 RW 005, sampah itu sangat berharga. Dengan menjual sampah-sampah itu, Hadi dan puluhan warga Kapuk Muara dapat menyekolahkan anak dan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Meski bau tak sedap menyelimuti sepanjang Kali Angke, Hadi dan puluhan warga RT 005 RW 005 setiap pagi dari pukul 05.30 hingga pukul 17.00 selalu mengais rezeki di Kali tersebut. Bahkan, beberapa dari mereka sudah memulung di Kali Angke hingga Muara Angke sejak belasan tahun yang lalu. Saat mengarungi Kali Angke, satu demi satu sampah botol minuman, kaleng, dan plastik dimasukkan Hadi ke dalam sampannya dengan menggunakan serok. Sore itu, sampah botol minuman, plastik, dan kaleng terlihat sedikit, tidak seperti biasanya. Hadi telah didahului rekan-rekannya yang dari pagi memungut sampah di sepanjang Kali Angke hingga Muara Angke. Hadi tidak bisa memulung pagi hari karena baru saja tiba dari Jawa Barat. ”Inilah Mas kalau lagi apes, cuma 1 sampai 2 kilo sehari dapatnya,” ujar Hadi. Hadi menjual sampah yang dipungutnya ke daerah Pasar Goyang, Pesing, dan Kali Cagak. Dengan mendapatkan 1 kilogram hingga 2 kilogram sampah, Hadi hanya mendapatkan Rp 12.000 per hari. Dalam sehari terkadang Hadi bisa mendapatkan hingga 50 kilogram sampah. Itu pun hanya menghasilkan uang Rp 40.000 dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Meski demikian, tak ada raut wajah putus asa terpancar dari wajah Hadi. Ia tetap mendayung sampannya meski salah satu jari tangannya terbalut plester karena luka. Bau yang tidak sedap yang menyelimuti Kali Angke sudah bersahabat dengan Hadi. Maklum, Hadi menjalani aktivitas tersebut sejak 17 tahun yang lalu, sejak ia duduk di sekolah dasar. Hadi bahkan pernah tenggelam bersama perahunya karena menabrak tumpukan sampah. Beruntung ia tidak celaka. ”Itulah dukanya, Mas,” kata Hadi. Terkadang Hadi berpikir ingin mengubah hidup dengan mencari pekerjaan yang lebih baik. Namun, dengan ijazah SD yang ia miliki, kerap kali lamarannya ditolak. Maka, pilihan sebagai pemulung tetap dijalani Hadi hingga saat ini. Saat dikunjungi, Minggu (17/3), ia pun tetap bersemangat. Salah satu rekan seprofesi Hadi, Udin (39), mengatakan, dalam menjalankan aktivitas itu, mereka sering merasa lebih banyak duka daripada sukanya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia kerap pusing jika pendapatannya tidak seberapa. Terkadang Udin hanya mendapatkan 2 kilogram sampah, tapi terkadang bisa mendapatkan hingga 40 kilogram sampah dalam satu hari. Namun, itu pun tak bisa mencukupi kebutuhan. Ia terkadang terpaksa meminjam uang ke warung dekat rumahnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Udin pun harus bekerja sebagai buruh serabutan. Kini, dengan perahu tua yang mereka miliki, Udin, Hadi, dan beberapa warga di sekitar Kali Angke tetap mengarungi kali untuk mengais rezeki. Sampai kapan hal itu dilakukan, mereka pun tidak bisa menjawab. Nilai ekonomi sampah Selain berharga bagi Hadi dan puluhan pemulung di Kali Angke, sampah juga berharga bagi Bob Novandi (58) dan Muhammad Badoway (39). Mereka bisa membuat sampah yang akrab dengan kata bau dan jorok itu menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis, dengan cara memanfaatkannya. Bob merupakan pembuat pernak-pernik dari sampah botol minuman. Ia berusaha memanfaatkan sampah menjadi pernak-pernik yang bernilai ekonomis tinggi. Bob atau yang biasa disapa Bob Lampion mengolah sampah botol minuman menjadi lampion, mainan anak-anak, tempat pensil, gelas, dan tirai kaligrafi. Bob mengaku, selain bisa mengurangi volume sampah di Jakarta dan mendapatkan nilai ekonomis, sampah botol minuman juga bisa menyerap tenaga kerja. Dengan uang Rp 100.000, seseorang sudah bisa mengolah sampah botol minuman menjadi berbagai produk yang menarik. Begitu juga dengan Badoway. Hasil daur ulang sampah yang dihasilkan pabrik milik Badoway bahkan sudah diekspor ke Guangzhou (China). Selain mengurangi volume sampah di Jakarta, Badoway senang karena bisa membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Semua kalangan, mulai dari kalangan bawah hingga kalangan atas, sebenarnya bisa menjadikan sampah menjadi lebih bernilai jika pengelolaan sampah dilakukan dengan baik, misalnya dengan memisahkan sampah organik dan nonorganik. Selain itu, sampah diolah jadi barang bernilai ekonomis. Sampah mudah didapatkan di Jakarta. Sampah yang dihasilkan rumah tangga mencapai 6.594,72 ton per hari. Dari angka tersebut, hanya 85 persen yang terangkat ke tempat pembuangan akhir tanpa proses pemilahan organik dan nonorganik. Sampah yang tidak terangkut ini memenuhi ruang-ruang terbuka dan memicu terjadinya banjir. Emanuel Edi Saputra Post Date : 18 Maret 2013 |