|
Pemanfaatan air baku sebesar 17 milyar m3/tahun untuk kebutuhan domestik setara dengan ketersediaan air baku per kapita sebesar 52.90 m3/tahun. Namun, alokasi ketersediaannya tidak merata di setiap wilayah. Bahkan, seiring dengan meningkatnya populasi penduduk, perkembangan perkotaan dan industri, serta diperburuk oleh perubahan iklim, maka terjadi krisis air baku di beberapa wilayah di Indonesia. Di masa mendatang, konflik perebutan air baku tersebut semakin terbuka mengingat dari 133 wilayah sungai di Indonesia, hanya 13 sungai yang mengalir di satu kabupaten/kota, 51 sungai mengalir lintas kabupaten/kota, 27 sungai mengalir lintas provinsi, 37 sungai strategis nasional dan 5 sungai mengalir antar negara. Indonesia harus memikirkan bagaimana mengantisipasi pertumbuhan di perkotaan yang semakin meningkat karena mengakibatkan pengambilalihan saluran irigasi pertanian. Target MDGs 2025 yaitu 100%, untuk itu Indonesia harus sudah mempunyai planning dan target yang jelas. Berkaitan dengan hal tersebut, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (Ditjen SDA) sangat mendukung pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota untuk melakukan pengembangan SPAM kawasan regional dan mencari alternatif sumber-sumber air baku baru. Selain itu kegiatan operasi dan pemeliharaan juga harus ditingkatkan. Saat ini, Ditjen SDA dan Ditjen Cipta Karya bersama Pemerintah Daerah telah melakukan upaya nyata dalam pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Regional di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan DKI Jakarta, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah melalui penandatangan MoU dan Perjanjian Kerja Sama (PKS), maupun MoU yang sedang dalam draft, serta pelaksanaan konstruksi yang sedang “on going”. Ditjen SDA sendiri pada tahun 2014 ini telah menyelesaikan pembangunan Waduk Jatibarang dan Waduk Jatigede yang diharapkan dapat mendukung penyediaan air baku untuk SPAM Regional di Zona Jawa sebesar 4.550 liter/detik. Diharapkan, kerjasama yang sudah terjalin selama ini agar tetap berjalan dan dapat ditingkatkan baik dari pemerintah pusat, provinsi, kot,a maupun kabupaten demi menjaga ketersediaan air baku secara berkelanjutan. Sementara itu, saat ini sedikitnya tercatat 1.235 desa di wilayah Indonesia berstatus rawan air minum. Secara umum, situasi rawan tersebut disebabkan oleh karena tidak terdapat sumber air baku. Kalaupun ada, secara kuantitas tidak dapat memenuhi tingkat kebutuhan air minum masyarakat, letaknya sulit dijangkau, atau kualitasnya tidak memenuhi kriteria baku mutu untuk air minum. Jumlah desa kering dalam kawasan rawan air tersebut berdasarkan data kekeringan desa yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2013 lalu. Dikemukakan bahwa Ditjen Cipta Karya, Kementerian PU, telah membagi desa kering di kawasan rawan air itu ke dalam tiga prioritas penanganan. Jumlah desa kering di kawasan rawan air yang masuk dalam penanganan prioritas pertama ada sebanyak 326 desa, kemudian prioritas kedua ada 773 desa, dan prioritas penanganan tiga sebanyak 136 desa. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelumnya telah memberikan arahan dan instruksi kepada jajaran Kementerian PU untuk mengatasi krisis air di desa rawan air, dan daerah tandus dan sulit air. Paling lambat pada 2025 cakupan pelayanan air minum di Indonesia mencapai 100 persen dan tidak ada lagi krisis air. Hingga akhir 2013, kondisi cakupan pelayanan air minum sebesar 61,83 persen. Untuk mengatasi kekeringan dan membantu masyarakat di kawasan rawan air tidak mudah. Selain memerlukan dana besar, juga sangat tergantung ada atau tidaknya sumber air baku. Semakin sulit sumber air baku dijangkau, semakin besar biaya untuk membangun instalasi pengolahan air minum, jaringan (perpipaan) distribusi primer, sekunder, dan sambungan rumah Post Date : 03 Maret 2014 |