|
DUA pekan sudah kerusuhan di tempat pembuangan sampah terpadu di Desa Bojong, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, berlalu. Tetapi, hingga Selasa (7/12), kasus itu masih menyisakan kecemasan bagi warga sekitar TPST. Sebab, masih banyak suami, anak, dan sanak saudara mereka yang ditahan polisi. Masih ada juga yang belum diketahui keberadaannya. Hampir setiap hari warga berkumpul di pelataran rumah, berbincang tentang kepahitan hidup di desa terpencil itu. Isu penculikan memang masih merebak. WAJAH kecemasan juga dialami pihak PT WGS yang hampir saja dipercaya mengelola sampah oleh Pemerintah DKI Jakarta dan Pemerintah Kabupaten Bogor. Impian hebat menangguk keuntungan dari hasil mengelola sampah rasanya semakin sulit menjadi kenyataan. Sebab, "otak" perangkat penggerak mesin pengelola sampah ikut terbakar. Situasinya serba salah. Siapa pun mengakui, sampah begitu akrab dengan bau busuk. Minimnya sosialisasi membuat warga desa sudah antipati terhadap kiriman sampah warga Jakarta sebanyak 2.000 ton sehari. Kecemasan juga masih dirasakan Ny Inih (50). Dalam kecemasan, warga yang tinggal persis di dekat pintu gerbang TPST itu berharap, "Kapan suami saya bisa dibebaskan dari tahanan polisi? Saya heran, waktu kerusuhan, suami saya sedang duduk-duduk bersama saya di depan rumah!" Sementara itu, didorong oleh kebutuhan mendesak untuk menangani sepertiga dari seluruh sampah warga Jakarta, Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Kebersihan DKI mendesak agar proses pengolahan sampah segera dilaksanakan. Tidak boleh ditunda lagi! Ya, segepok uang dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) lebih "berbunyi nyaring" untuk membayar jasa PT WGS. Padahal, bukan cuma besarnya uang, pengelolaan sampah juga harus mempertimbangkan kesiapan warga yang rumah-rumahnya akan dilalui truk-truk sampah. Tak terbayangkan, bau cairan limbah sampah yang menetes-netes di depan rumahnya. Belum lagi, bayangan bau daging dan sayur busuk pun sudah membuat muak. Siapa bisa menjamin pengangkutannya sesuai janji, meskipun menggunakan truk yang canggih? Buktinya, ruas jalan masuk tetap dipasang spanduk "Kampung kami bukan tempat buang sampah!" Dipikir-pikir, warga memang berhak saja menolak. Sebab, setiap hari, bau busuk yang menyengat dan lalat-lalat hijau akan bebas beterbangan di desa terpencil itu. Sekali lagi, kecemasan itu terjadi, karena semua pihak mengklaim kebenarannya sendiri. Di depan Dewan Perwakilan Rakyat beberapa hari lalu, Pemprov DKI menyatakan, bau busuk sampah itu akan diminimalisasi dengan menggunakan truk kontainer khusus. Ketika Kompas yang kebetulan mengikuti truk kontainer pengangkut sampah di ruas jalan kawasan Cibubur, Selasa kemarin, ternyata truk yang dibilang canggih itu tetap menebarkan aroma busuk. Belum dipraktikkan di TPST Bojong saja, truk itu sudah tidak ditutup rapat-rapat oleh petugas. Akibatnya, bau busuk yang ditakuti menjadi kenyataan. (STEFANUS OSA TRIYATNA) Post Date : 08 Desember 2004 |