Ciangir diincar sebagai tempat pembuangan sampah, relokasi rumah potong hewan (RPH) khusus babi, penjara, hingga pemakaman umum.
Desa Ciangir merupakan salah satu desa di Kecamatan Legok, Tangerang, Banten. Dapat ditempuh sekitar satu jam perjalanan roda empat dari Jakarta, sekitar 57 kilometer ke arah barat Jakarta. Akses menuju Ciangir tidak terlalu baik. Selain ruas jalan cukup sempit (hanya dua lajur) dan minim penerangan bila malam hari, ruas Jalan Legok Raya juga terjadi kerusakan berat sepanjang dua kilometer.
Desa Ciangir membentang seluas 344 hektare. Terbagi dalam wilayah permukiman penduduk dan persawahan. Dengan populasi sekitar 4.000 jiwa, sebagian besar warganya berprofesi sebagai petani, buruh tani, atau buruh pabrik. Sedangkan para pemudanya lebih memilih hijrah ke Jakarta dan bekerja sebagai buruh pabrik, sopir, atau penjaga toko.
Pertengahan dekade ‘90-an, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta membeli tanah warga seluas 98 hektare di sana yang akan diperuntukan sebagai tempat pembuangan sampah. Hal itu sebagai antisipasi terhadap peningkatan volume sampah di Jakarta dan overload Tempat Pengolah Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi. Pasalnya, karakteristik lahan Ciangir mirip Bantar Gebang yang cekung dan cocok sebagai pembuangan akhir sampah.
Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis Tempat Pembuangan Akhir (UPT TPA) Dinas Kebersihan DKI, Mutiha L Toruam, rencana awal dari Pemprov DKI Jakarta, lahan tersebut akan diperuntukkan guna menampung sampah dari Jakarta Barat dan Jakarta Selatan yang volumenya diperkirakan mencapai 1.500 ton per hari. Angka itu belum termasuk pasokan sampah dari Tangerang yang diperkirakan 1.000 ton per hari. “Master plan itu sudah ada sejak Bantar Gebang dibangun,” ujar Mutiha.
Untuk memisahkan lahan, pada 1997 Pemprov DKI membangun dua infrastruktur di Ciangir, yakni jalan menuju lahan dan tembok beton setinggi dua meter sebagai batas tanah milik Pemprov DKI dan pemukiman warga.
Di sisi lain, kesepakatan antara Pemprov DKI Jakarta dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang berjalan alot. Apalagi pro dan kontra warga menyeruak. Dan TPST belum beroperasi hingga saat ini. Alhasil, area Pemprov DKI itu pun terbengkalai. Batas-batas lahan tersebut semakin kabur. Tembok beton banyak yang rusak dan dicuri. Bahkan, plang besi yang bertuliskan tanah milik Pemprov DKI sudah berkarat dan tidak jelas terbaca. Sedangkan sebuah telaga di lahan Pemprov DKI dimanfaatkan warga untuk menanam padi, membudidayakan ikan, dan tempat menggembala kerbau.
Tersendat-sendatnya pemanfaatan lahan Ciangir sebagai TPST juga menggelitik Pemprov DKI untuk banting setir ke rencana lain. Salah satunya adalah menyulap tanah 20 hektare dari total seluas 98 hektare tanah Pemprov di Ciangir itu menjadi rumah potong hewan (RPH) khusus babi sebagai pengganti yang ada saat ini di daerah Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat. Namun rencana itu ditolak Pemkab Tangerang. Aspek sanitasi dan dominasi warga muslim menjadi alasanya.
Tidak Direspons
Menurut Bupati Tangerang, Ismet Iskandar, meski Pempov DKI memiliki lahan di wilayah tersebut, tidak bisa serta-merta diperuntukkan tanpa restu otoritas setempat. Apalagi bila diperuntukkan sebagai RPH Babi. Puncak penolakan terjadi pada 18 Mei lalu, ketika warga mendemo rencana tersebut. “Untuk menjadi tempat pembuangan sampah saja belum sepakat, sudah muncul masalah baru. Jelas kami tidak dapat menerimanya,” ujar Suherdi, Kepala Desa Ciangir.
Sebelumnya, Ciangir juga dilirik Pemprov DKI sebagai lokasi pembangunan rumah tahanan (rutan). Gubenur DKI Jakarta Fauzi Bowo telah membicarakan wacana tersebut ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Rencana itu sebagai antisipasi kapasitas beberapa rutan di Jakarta yang sudah tidak memadai.
Namun, lagi-lagi, hal itu masih dalam tahap perundingan antara Pemprov DKI dan Pemkab Tangerang. “Kalau soal rutan warga tidak menolak karena berupa bangunan permanen dan tidak berdampak buruk terhadap lingkungan, tapi sepertinya Pemkab Tangerang yang masih keberatan,” ujar Suherdi. Sebelumnya, Ciangir juga sempat dilirik Pemprov DKI untuk dijadikan lokasi pemakaman umum.
Kendati demikian, Suherdi berharap nama desa Ciangir tidak dikenal sebagai ”tempat pembuangan”. Dia menginginkan Ciangir lebih dikenal sebagai kawasan industri yang dianggap lebih elegan. Lebih dari itu, keberadaan kawasan tersebut secara tidak langsung akan mendorong terbukanya lapangan pekerjaan baru bagi warga desa. “Saya pernah melayangkan surat kepada Ketua DPRD Tangerang pada 2007. Tapi tidak ada respons,” pungkas dia di ujung pertemuan. Warso
Post Date : 25 Mei 2009
|