|
BAK semut mengerumuni gula. Mungkin peribahasa ini pantas untuk menggambarkan bagaimana kegiatan para pemulung sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jelekong. Setiap ada truk sampah yang baru masuk, puluhan pemulung segera berkerumun menyerbu onggokan sampah tersebut. Kegiatan seperti itu selalu terjadi setiap hari. Para pemulung berlomba-lomba mengais rezeki dari barang yang sudah tidak berguna lagi bagi orang kebanyakan. Adalah Asep (25), salah seorang pemulung asal Margaluyu Desa Jelekong, Kec. Baleendah, yang telah dua tahun menjalani profesi ini. Aroma tak sedap dan serbuan lalat seolah telah menjadi bagian hidup tak terpisahkan bagi orang-orang seperti Asep. Botol bekas, kaleng, dan sampah plastik menjadi sumber penghasilan Asep. Dari hasil penjualan barang-barang bekas inilah Asep memperoleh uang untuk menghidupi istri dan seorang anaknya. Penghasilan Rp 50 ribu hingga Rp 80 ribu mampu diraup Asep setiap minggunya. Jumlah itu tentu saja belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sekarang yang serbamahal. Cukup enggak cukup, dijalani saja, ujar Asep. Menjelang berakhirnya masa pakai TPA Jelekong yang rencananya sebulan lagi ditutup, Asep harus mulai berpikir untuk beralih mencari sumber penghidupan baru. Mungkin saya akan pergi ke TPA baru, ujar Asep. Setelah berhenti dari pekerjaannya dulu sebagai seorang buruh bangunan, hanya profesi inilah yang mampu Asep kerjakan. Sekarang mah susah cari kerja, apalagi buat orang seperti saya yang hanya lulusan SD, kata Asep. Asep mengaku pasrah menghadapi rencana penutupan TPA ini. Ia hanya menginginkan agar pengganti TPA Jelekong lokasinya tidak terlalu jauh dari tempatnya sekarang. Sementara Ujang Saepudin (43), yang setiap hari mengatur keluar masuk truk sampah menuju TPA Jelekong, mengaku telah mengetahui rencana penutupan TPA Jelekong. Serupa dengan Asep, Ujang juga hanya bisa pasrah. Paling ngojeg lagi atau jadi buruh bangunan, kata Ujang mengemukakan rencananya setelah TPA Jelekong ditutup. (nuryani) Post Date : 02 Januari 2006 |