|
JAKARTA - Pemanfaatan sanitary landfill sebagai pemecahan permasalahan sampah di kota-kota besar tetap menemui kendala jika tidak disertai dengan manajemen yang tepat. Dengan demikian, penanganan sampah tidak hanya soal bagaimana cara membuangnya, tetapi juga bagaimana cara mengurangi (reduce), menggunakan ulang (reuse), dan mendaur ulang (recycle). Hal itu dikatakan Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anton Tri Sugiarto saat dihubungi Pembaruan di Jakarta, Selasa (5/4). "Pengurangan, penggunaan ulang, dan daur ulang akan berhasil jika setiap lapisan masyarakat menyadari sampah masih ada nilainya. Sekarang ini bisnis limbah banyak sekali memberi keuntungan," kata Kepala Laboratorium Lingkungan di Pusat Penelitian Kalibrasi Instrumentasi dan Metalurgi (KIM) LIPI ini. Menurut Anton, penanganan sampah dengan menggunakan sanitary landfill tetap memiliki buangan berupa berbagai macam bentuk gas serta cairan. Apabila buangan gas dan cairan ini tidak dikelola dengan baik, sampah tetap akan menjadi masalah. Selain itu, penggunaan sanitary landfill juga harus mempertimbangkan berapa lama sebuah tempat pembuangan akhir (TPA) itu dapat dipergunakan, serta di mana kemungkinan TPA pengganti, terutama untuk kota besar seperti Jakarta. Menurut data JICA, setiap orang memproduksi sampah sebanyak 2,69 liter per hari. Jika dikalikan dengan jumlah penduduk 12 juta orang, total sampah yang dihasilkan sekitar 8.070 ton per hari. Dengan demikian, dibutuhkan lokasi sekurangnya seluas 25 hektare, serta perawatan sanitary landfill yang mahal dan tidak mudah. Permasalahan sampah di Jakarta, menurut peneliti yang menyelesaikan studi strata satu hingga mengambil gelar doktor di Jepang ini, lebih tepat menggunakan teknologi penanganan sampah terkini yang disebut teknologi plasma gasifikasi. Teknologi ini mampu melumatkan segala jenis sampah termasuk logam karena menggunakan teknik pemanasan (oven) dengan suhu mencapai 4000 derajat Celsius. Pemanasan ini tidak melalui pembakaran sehingga gas yang dihasilkan bukan senyawa oksigen (dioxin) yang beracun tetapi gas yang ramah lingkungan. Selain itu, alat yang menggunakan energi listrik ini memiliki buangan lainnya berupa slag (kerak karbon murni) yang dapat digunakan untuk bahan bakar. Sayangnya, selain membutuhkan sedikitnya 50 tenaga kerja (operator) yang terampil, teknologi ini juga tergolong mahal. Seperti di Prancis, negara ini mengeluarkan dana sebesar US$ 25 juta untuk membangun oven plasma berkapasitas 1.500 ton sampah. Sementara di Jepang, pembangunan pengolahan sampah memiliki sejarah sendiri. Penanganan sampah di negeri matahari ini dimulai dari incinerator. Namun, mesin pembakar sampah ini juga dinilai belum menyelesaikan masalah karena hanya menyerap 70 persen sampah, sehingga upaya lain, seperti pembuatan kompos (composing) serta daur ulang (recycle) juga dilakukan. Ketiga cara ini pun ternyata masih menyisakan sampah, seperti abu hasil pembakaran dari incinerator serta logam berat dan terutama limbah nuklir, sehingga dibuat oven plasma yang benar-benar tidak menghasilkan sampah. Tetapi, perubahan pengolahan sampah itu juga tidak terlepas dari adanya tuntutan masyarakat kepada pemerintah untuk menangani sampah secara lebih serius. Kesadaran masyarakat Jepang ini, antara lain dipicu peristiwa perang antarwarga akibat penentuan lokasi sampah. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 70-an, ketika masyarakat kota Gotoku menghambat sekitar 50 truk sampah yang melintasi kota mereka. Padahal, semua truk itu akan memindahkan sampah dari TPA di kota Suginamiko karena dinilai tidak mampu menampung sampah lagi. Akibatnya, penduduk kedua kota itu mengalami bentrokan. "Dari sini bisa dilihat, pada dasarnya, penanganan sampah di Jepang dimulai dari kesadaran masyarakat untuk mengelola sampah dan baru kemudian pemerintah memberi fasilitas teknologinya," kata Anton. Keseriusan masyarakat Jepang itu juga telah mendorong lahirnya tujuh jenis undang-undang tentang sampah. "Dengan aturan itu, setiap orang membuang alat elektronik yang tidak terpakai lagi ke toko asal alat itu dibeli. Karena, harga barang itu sudah termasuk ongkos membuangnya," katanya. Hal serupa dikatakan Peneliti LIPI lainnya, Bogie Soedjatmiko. Menurut Peneliti Bidang Fisika dan Lingkungan ini, penanganan sampah baru akan berhasil jika melibatkan masyarakat sebagai produsen sampah itu sendiri. Di sekitar tempat tinggalnya, di Bandung Utara, masyarakat berencana membangun incinerator untuk lingkungannya sendiri. Alat pembakar sampah ini dibuat berbeda dengan incinerator yang biasanya. Alat ini hanya membutuhkan satu orang untuk menjalankannya dan menggunakan dua tungku pembakaran dengan suhu yang berbeda (900 dan 1.000 derajat celsius). Sehingga, sisa pembakarannya hanya dua persen dari kapasitas sampah yang dibakar. Namun, alat ini masih membutuhkan tenaga manusia untuk memisahkan sampah anorganik, seperti gelas, plastik, dan logam, dengan sampah organik yang akan dibakar. Harga alat ini juga relatif mahal, yakni sekitar Rp 100 juta. Selain itu, alat yang mampu membakar tiga per empat meter kubik sampah untuk penggunaan bahan bakar 25 liter minyak tanah atau solar per jam ini juga membutuhkan perawatan yang tidak murah. "Bagi komunitas tertentu dana pembelian incinerator mungkin bisa dijangkau, tetapi bagaimana dengan yang lain. Karenanya, peningkatan kesadaran penanganan sampah yang dimulai di setiap tingkatan masyarakat, mulai dari rumah sampai ketika sampah masuk di TPA akan lebih tepat," katanya. Seperti masyarakat TPA Galuga Bogor yang memanfaatkan sampah menjadi pupuk kompos. Masyarakat yang menamakan diri Paguyuban Tumaritis ini bahkan memperkenalkan produknya dengan cara memberikan pengertian secara dini tentang pengolahan sampah ke sekolah-sekolah menengah. Menurut koordinator paguyuban itu, Mulyadi Afmar yang ditemui Pembaruan di sela-sela acara pemberian dana konservasi lingkungan dari Ford Motor Company di Jakarta, pengelolaan sampah bukan hanya bagaimana cara membuangnya, tetapi masyarakat dapat diajak untuk mengolah sampah dengan menggunakan ulang, daur ulang, dan menguranginya. "Dengan memberikan pengertian itu kami juga memperkenalkan pupuk produksi kami kepada para siswa. Selain memberi manfaat buat orang banyak kami juga sudah mengiklankan produk kami secara gratis. Hasilnya, mereka sudah memisahkan sampah kertas dan plastik dari jenis sampah lainnya," kata Mulyadi. Menurut Mulyadi, sampah bagi sebagian orang, seperti pemulung mempunyai arti lain. Persaingan di antara mereka juga cukup tinggi. Bahkan, tidak jarang, kalangan berduit turut memperkeruh persaingan di antara para pemulung. Selain itu, perdebatan penentuan lokasi TPA ada kalanya lebih dominan melibatkan kepentingan perumahan mewah di sekitarnya. (Y-5) Post Date : 06 April 2005 |