Wajah Desa Wonoyoso, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang, sungguh berbeda pada 10 tahun terakhir. Perempuan di desa itu nyaris memiliki sumber penghasilan serupa, yakni membuat keset. Mereka juga mampu mendirikan koperasi perempuan dengan aset yang terus bertambah.
Para pemuda desa putus sekolah juga mendapat penghasilan dari kerajinan keset berbahan baku "sampah" pabrik tekstil dan produk tekstil di sekitar kampung mereka. Limbah itu disulap menjadi produk berkualitas yang menjelajah hingga berbagai kota di Jawa Tengah, Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Jakarta.
Kondisi itu sangat bertolak belakang saat terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja massal akibat krisis ekonomi 1998 yang meluluhlantakkan kehidupan warga Wonoyoso. Keputusasaan menggelayuti perkampungan itu. Pemuda desa menganggur, orangtua terkena pemutusan hubungan kerja, hingga ada pula perempuan yang "dijual" ke Batam.
Namun, masa kelabu itu sekarang sudah berakhir. Mereka kini disibukkan dengan aktivitas membuat keset seperti yang dilakukan empat pemuda Dusun Sambeng, Desa Wonoyoso, Jumat (6/11). Mereka asyik melipat kain perca sambil mengendalikan mesin jahit. Tiap lipatan berbentuk runcing ditambah dengan lipatan lainnya di atas kain yang melapisi kertas berbentuk bulat. "Kalau sedang enggak terlalu ngoyo, seminggu bisa dapat bersih Rp 70.000," tutur Darwono (17) yang sudah tiga tahun terakhir membuat keset dari kain perca.
Darwono mulai membuat keset setelah putus sekolah tiga tahun lalu akibat ketidakmampuan ekonomi. Kedua orangtuanya menjadi buruh tani. Darwono mencoba mencari pekerjaan di pabrik sekitar rumahnya dengan ijazah SMP, tetapi Darwono kalah pengalaman. Saat melihat beberapa temannya menjahit keset dengan penghasilan lumayan baik, ia pun tergiur.
Hal yang sama dilakukan Imam (21) yang sudah lima tahun membuat keset dari kain perca. "Sampah" yang menjadi bahan baku keset itu didapat dari "UD Anugrah". Keset yang sudah jadi juga ditampung "UD Anugrah" untuk dipasarkan ke berbagai daerah. Harga bergantung kualitas jahitan serta motif keset. Keset tanpa motif biasanya dijual Rp 1.500 hingga Rp 10.000, sedangkan yang bermotif bisa mencapai Rp 35.000 per buah.
Sekitar 500 warga di Desa Wonoyoso, Wonorejo, dan Kelurahan Pringapus menginduk ke "UD Anugrah" yang mulai dirintis tahun 1998. Saat ini perajin yang masih aktif mencapai 200 orang. Dari usaha keset itu, kini warga juga mampu mendirikan Koperasi Wanita "Melati" yang awalnya bermodalkan Rp 17 juta dan saat ini sudah mencapai Rp 221 juta.
"Awalnya kerajinan keset itu digalakkan lima ibu desa lainnya. Mereka mencoba mencari jalan keluar dari keterpurukan desa saat krisis ekonomi," kata Anna Setyorini (37), pengelola Koperasi Wanita "Melati".
Mereka lalu mencoba menularkan kemampuan itu kepada warga sekitarnya. Beruntung pula, keset itu laku keras. Beberapa warga yang awalnya hanya ikut-ikutan membuat keset akhirnya malah bisa memiliki mesin jahit dan menjadi pengepul keset. Tawaran ekspor juga sempat datang dari Amerika Serikat lewat eksportir asal Surabaya.
Sayang, perajin kesulitan memenuhi permintaan ini karena mereka tak mampu menyeragamkan warna motif karena hanya memanfaatkan kain sisa pabrik. Meski begitu, kata Setyorini, hal itu tak membuat perajin patah arang. Mereka masih terus menelurkan motif keset baru. Saat ini sudah ada puluhan motif, seperti ikan dan kupu-kupu.
Setidaknya, pasar dalam negeri masih terbuka luas. Ekonomi masyarakat desa itu masih akan terus berdenyut dari hasil mengolah "sampah". (Antony Lee)
Post Date : 11 November 2009
|