"Salatiga Nalika Semana"

Sumber:Kompas - 02 November 2008
Kategori:Air Minum

Salatiga nalika semana/Ora ana sing ora kepenak/Disawang mata

Tengah-tengah kuta, ana Tamansari/Ing Tamansari, ana kebun binatange

Salatiga dek zaman biyen/Kabeh sarwo ketok apik/Kaya neng impen

Alun-alun kuta ana ringin kurugne/Dalan-dalan gede akeh kenari...

Oh indahe…

(Salatiga ketika itu/Tidak ada yang tak enak dipandang mata

Di tengah kota, ada Tamansari/Di Tamansari, ada kebun binatangnya

Salatiga pada zaman dulu/Semua serba terlihat bagus/Seperti di mimpi

Alun-alun kota punya beringin/Jalan-jalan besar banyak pohon kenari

Oh indahnya…)

Lirik lagu Salatiga Nalika Semana ciptaan Edyy Supangkat itu cukup menggambarkan, betapa Salatiga pernah dikenang sebagai kota kecil yang hijau-sejuk dengan ratusan belik (mata air). Itu bermula dari kebijakan pemerintah Belanda yang menetapkan kota itu sebagai kota praja (gemeente) tahun 1917. Sejak itu, kawasan ini disiapkan sebagai tempat peristirahatan yang asri dengan tata kota dan berbagai fasilitas yang prolingkungan.

Ada ratusan belik dengan sendang besar-besar yang tak henti menumpahkan air jernih. Air itu mengalir ke sungai-sungai yang bersih, menyusuri permukiman, dan masuk dalam sistem irigasi di areal pertanian.

Udara sejuk. Pepohonan besar tumbuh di sekeliling kota, termasuk ke daerah resapan menuju lereng Gunung Merbabu. Di tengah kota, ada Tamansari sebagai ruang terbuka hijau dengan hamparan bunga warna-warni. Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Diponegoro penuh dengan pohon kenari dan asam.

”Sampai tahun 1960-an, Salatiga masih seperti negeri impian,” kata Eddy Supangkat yang menulis buku Salatiga Sketsa Kota Lama.

Kini, semuanya berubah. Belik-belik kering atau menghilang, bahkan sejumlah belik ditutup jadi perumahan elite, seperti di daerah Kalimangkak, Kecamatan Sidorejo. Dinas Lingkungan Hidup Kota Salatiga mencatat, saat ini tinggal 70 mata air yang masih mengalir.

Tamansari diubah jadi pusat perbelanjaan empat lantai. Pepohonan di kota ditebang demi perluasan jalan, pembangunan kawasan pertokoan, maupun pembuatan perumahan baru.

Wali Kota Salatiga John Manoppo juga merasakan perubahan ini. Saat dia mulai kuliah di Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana 40 tahun lalu, udara masih dingin. ”Dulu kalau tidak tidur pakai selimut, pasti menggigil. Sekarang tidur pakai kaus singlet saja masih kepanasan,” kenangnya.

Pemerintah setempat mencoba melindungi lingkungan melalui rencana tata ruang wilayah kota. Mata air dijaga aturan yang membebaskan sumber air ini dari bangunan dalam radius 200 meter. Pembangunan perumahan harus memenuhi persentasi 40 persen ruang terbuka hijau. ”Masalahnya, pelaksanaan aturan- aturan tersebut masih lemah,” kata John.

Apa mau dikata, Salatiga telanjur tumbuh meniru kota-kota besar lain yang menggenjot pembangunan yang lebih memihak pasar. Sebulan terakhir, lahan perkebunan di Kawasan Salib Putih di Kecamatan Argomulyo mulai dikepras. Katanya, itu untuk pembangunan Jalan Lingkar Selatan yang menjadi jalur alternatif Semarang-Solo dari Kecamatan Argomulyo menuju Kecamatan Sidorejo dengan panjang sekitar 12 kilometer. Padahal, lahan ini termasuk wilayah tangkapan air di kaki Gunung Merbabu.

Oh, memang lebih enak mengenang Salatiga nalika semana! (gal/iam)



Post Date : 02 November 2008