Selama lebih dari 30 tahun wilayah Jakarta Utara adalah kawasan yang tidak terlayani air bersih dengan baik. Produksi air bersih yang terbatas dan sulitnya air mengalir karena topografi kawasan yang datar membuat warga Jakarta Utara sering tidak mendapat bagian air bersih dalam jumlah memadai.
Padahal, di Jakarta Utara terdapat banyak aktivitas komersial, seperti hotel, tempat hiburan, dan pelabuhan, yang memerlukan air bersih dalam jumlah besar untuk menunjang aktivitas mereka. Kondisi itu yang membuat bisnis properti dan aktivitas komersial lain di Jakarta Utara sulit berkembang dengan pesat.
Setelah produksi dan distribusi air bersih dikuasai dua perusahaan swasta mitra PAM Jaya, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra), distribusi air bersih di kawasan itu tetap bermasalah meski ada perbaikan. Kesinambungan pasokan dan kualitas air bersih di kawasan itu masih sulit diandalkan.
Di sisi lain, aktivitas komersial dikenai tarif air sangat tinggi, yakni Rp 12.550 per meter kubik. Tarif ini membuat biaya operasional aktivitas komersial tinggi.
Ketidakandalan pasokan dan tarif yang terlalu tinggi membuat para pengusaha besar di kawasan itu memikirkan cara mengatasi kedua hal itu. Akhirnya mereka menemukan langkah jitu, memproduksi air bersih sendiri dari air laut dengan teknologi reverse osmosis (RO).
Teknologi ini menggunakan listrik yang sangat besar dan membran yang sangat mahal untuk menyaring garam dan mineral pelarut lain guna mendapat air minum, bukan sekadar air bersih. Teknologi ini sangat irit lahan, tetapi membutuhkan biaya besar. Untuk memproduksi satu meter kubik air minum perlu biaya Rp 8.900.
Ketika PT Aetra bersengketa dengan PT Pembangunan Jaya Ancol (PJA) karena mengembangkan instalasi RO, PT Pelin- do II dan beberapa pengelola apartemen serta perumahan di tepi laut mempunyai instalasi RO. Sengketa kedua perusahaan itu hanya puncak kecil kekhawatiran akan bangkrutnya bisnis air bersih di Jakarta.
Setiap hari, PT PJA mengeluarkan Rp 150,6 juta untuk mengonsumsi 12.000 meter kubik air yang didistribusikan PT Aetra. Dengan instalasi RO yang ada, PT PJA akan mengurangi konsumsi 5.000 meter kubik per hari dan akan berkurang 10.000 meter kubik dalam dua tahun.
Pengembang Taman Impian Jaya Ancol itu akan menghemat Rp 36,5 juta per hari atau Rp 1,095 miliar per bulan atau Rp 13,14 miliar per tahun. Penghematan yang luar biasa besar untuk biaya operasional.
Keandalan pasokan air sangat membantu PT PJA untuk berekspansi di bidang properti dan hiburan. Air yang terjamin akan meningkatkan harga properti di wilayah Jakarta Utara yang selalu kekurangan air bersih.
Pendiri Indonesia Water Institute Firdaus Ali mengatakan, penghematan yang luar biasa dan keandalan pasokan air melalui teknologi RO itu bakal ditiru para pengusaha properti lainnya. Apalagi RO dapat diterapkan untuk mengolah air sungai dan air limbah domestik dari properti itu sendiri.
Meski melanggar perjanjian kerja sama antara PAM Jaya dan PT Aetra serta PT Palyja, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo merestui penerapan teknologi RO di Ancol. Menurut Fauzi, RO adalah solusi untuk mengatasi kekurangan pasokan air bersih di wilayah Jakarta Utara. ”Saya menyetujui penyulingan air sebagai alternatif air bersih,” kata Fauzi.
Menurut Firdaus, saat ini PAM Jaya menggunakan sistem tarif subsidi silang. Pelanggan bertarif mahal menyubsidi pelanggan bertarif murah.
Kepala Badan Regulator Pelayanan Air Minum Irzal Jamal khawatir jika pengusaha besar, kelompok pemberi subsidi, hengkang dan beralih ke RO, PAM Jaya tidak memiliki dana subsidi ke masyarakat miskin. Dampaknya, bisnis air bersih bangkrut dan PAM Jaya harus minta subsidi ke pemerintah.(Caesar Alexey/Clara Wresti)
Post Date : 29 Juni 2010
|