Persis empat tahun lalu, rombongan Menteri Lingkungan Hidup—ketika itu—Rachmat Witoelar menyisir kelokan jalan beraspal di Desa Citamiang, Tugu Utara, Cisarua, Kabupaten Bogor. Tujuannya, melihat langsung keberadaan vila-vila tanpa izin yang dibangun pada kemiringan bukit desa sejuk itu.
Di sana, satu vila yang kabarnya milik mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menyisakan puing-puing. Informasinya, dirobohkan atas perintah si empunya sebagai bentuk tanggung jawab atas banjir besar Jakarta tahun 2007. Ya, banjir Jakarta selalu dikaitkan dengan kondisi hulu dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung.
Dengan lantang, Rachmat Witoelar saat itu menyatakan bahwa pelanggaran tata ruang tak bisa ditoleransi. Berbagai bangunan, tak peduli siapa pemiliknya, harus dibongkar. Kepala Dinas Tata Ruang Bangunan dan Perumahan Kabupaten Bogor saat itu pun mengaku lega karena diberi suntikan dukungan dari pemerintah pusat.
Maklum saja, pemerintah daerah—apalagi tingkat desa dan kecamatan—berhadapan langsung dengan para pejabat pemerintah pusat, sipil ataupun militer, pemilik vila-vila megah yang mengokupasi lahan.
Empat tahun lewat, kabar pembongkaran vila-vila itu menguap. Yang terdengar justru longsor yang menewaskan 6 orang, 4 orang di antaranya masih satu keluarga di Desa Cipayung, Megamendung, Kabupaten Bogor. Kejadian itu bersamaan dengan banjir yang merendam Jakarta berhari-hari.
Bagai sebuah siklus, media ramai-ramai menyiarkan kondisi Puncak, Bogor. Kondisi DAS Ciliwung bukannya tambah baik, justru memburuk. Dan, desakan pembongkaran bangunan vila ilegal kembali muncul. Kali ini datang dari Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan.
Seruannya senada dengan seruan Rachmat Witoelar, empat tahun lalu. Bongkar vila, tanpa peduli siapa pemiliknya! Penegakan hukum tak boleh pandang bulu, termasuk terhadap elite penguasa dan elite politik.
”Nah, itu dia masalahnya,” kata Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB) Soeryo Adiwibowo, Senin (21/1). Masalah yang dimaksud adalah bagaimana daerah menghadapi elite yang berkuasa. Penegakan hukum mandek.
Ia punya pengalaman khusus seputar tata ruang kawasan Puncak, Bogor, dikaitkan kondisi masa depan Jakarta.
Era Soeharto
Pertengahan 1980-an, Soeryo adalah dosen muda di IPB. Ia mendalami persoalan lingkungan dan tata ruang. Saat itu, keluar keputusan presiden (keppres) tentang tata ruang Bogor, Puncak, dan Cianjur yang ditandatangani Presiden Soeharto. ”Skalanya 1:25.000,” katanya.
Skala itu terhitung sangat detail, hingga panjang lampiran peta itu bermeter-meter. Detail dan jelas bagian per bagian yang boleh dan tak boleh untuk permukiman, perkebunan, atau lahan komersial. Keppres itu memberi optimisme para pegiat lingkungan dan konservasi.
Faktanya, kondisi di lapangan jauh beda. Keppres itu tak dapat diterapkan di lapangan. Vila-vila milik pejabat berdiri megah di kawasan bukan peruntukannya.
”Keppres waktu itu ibarat antibiotik dosis tinggi. Kalau zaman Presiden Soeharto saja yang sedang jaya-jayanya berkuasa tidak diterapkan di lapangan, apalagi masa berikutnya dan saat ini,” kata Soeryo.
Hingga kini, data yang selalu disebutkan ada 400-an vila di kawasan Puncak. Namun, ada yang menyebut jauh lebih banyak. Luasannya pun bervariasi, ada mantan calon presiden yang mendirikan bangunan peristirahatannya di atas lahan 9 hektar.
Seiring kerusakan kawasan hulu DAS Ciliwung hingga hilir, banjir yang merendam Ibu Kota sebenarnya tidaklah mengejutkan. Di Bogor, bantaran Sungai Ciliwung dijejali bangunan aneka fungsi. Padahal, bantaran itu ”hak” luapan air.
”Degradasi lingkungannya parah,” kata Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Arief Yuwono. Berdasarkan data KLH, tutupan lahan DAS Ciliwung pada 2010 tersisa 2,3 persen, turun dari 9,4 persen (2000). Sebagian lahan untuk permukiman, 47,6 persen (2000), yang naik 68,2 persen (2010).
Wajah nasional
Kerusakan DAS Ciliwung adalah wajah nasional. Saat ini, 108 DAS di Indonesia dalam kondisi butuh perhatian khusus. Sebanyak 60-an di antaranya superkritis. Indikasinya, tutupan lahan di bawah 30 persen, erosi sangat tinggi, sangat cepat mengalirkan air, dan tingkat kepadatan penduduk tinggi di sepanjang alur DAS.
”DAS superkritis merata secara nasional,” kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho. Kerusakan DAS terkait aktivitas ekonomi dan sosial manusia.
Data Dinas Pekerjaan Umum Jawa Timur, akibat kerusakan DAS Bengawan Solo, Januari 2013, puluhan desa dan ratusan hektar sawah di empat kabupaten, yakni Madiun, Ponorogo, Bojonegoro, dan Lamongan, terendam. Sementara itu, seratusan ribu hektar lahan kritis berada di DAS Ciujung, Banten. Banjir merendam permukiman warga hingga memutus jalan Tol Jakarta-Merak, beberapa hari.
Kondisi kritis juga terjadi di DAS Jeneberang, Sulawesi Selatan. Luas tutupan lahan di bagian hulu tersisa 13,3 persen atau 8.259 hektar. Bagian hulu didominasi pertanian lahan kering (47,5 persen) dan semak belukar (20 persen). Dampaknya, Bendungan Bili-bili yang didesain menampung 18 ton material erosi hulu per hektar per tahun kini harus menampung 30 ton per ha per tahun.
”Longsoran Gunung Bawakaraeng di daerah hulu DAS Jeneberang tahun 2004 turut memperpendek usia bendungan,” kata Usman Arsyad, pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin.
Soeryo Adiwibowo menegaskan, berbagai kerusakan lingkungan, termasuk DAS, tak lepas dari pembiaran menahun. Penegakan hukum lemah, kalah dengan kepentingan ekonomi sesaat.
Kini, jutaan manusia di sepanjang DAS—berjumlah ribuan—berada dalam kerentanan akibat kerusakan lingkungan kawasan. Pada saat bersamaan, cuaca dan iklim kian mengancam karena kondisi atmosfer.
Hidrometeorologis
Kejadian banjir dan tanah longsor yang terjadi setiap tahun akan terus meningkat. Keduanya bagian dari bencana hidrometeorologis.
Saat kemarau, bencana kekeringan muncul, sementara pancaroba muncul puting beliung. Data sementara BNPB, bencana hidrometeorologis hingga 18 Januari 2013 terjadi 67 kali, menewaskan 46 orang.
Kenaikan ancaman dan kerentanan manusia karena ulah manusia. Secara nasional, kebijakan pembangunan terus mengeksploitasi sumber daya alam tanpa mengadopsi keberlanjutan jasa lingkungan.
”Latar belakang pengambilan keputusan politis bersifat jangka pendek. Rabun senja,” kata Soeryo. Kajian 2006-2008 di Jawa, 278 peraturan daerah bersifat mengeksploitasi alam.
Di sisi lain, kebiasaan yang dikembangkan adalah menghindari masalah, bukan menyelesaikan, hingga peluangnya sempit dan kecil. Itulah kenapa kondisi Puncak tak berubah dari empat tahun lalu. Bencana erat dengan keputusan politis.(GSA/RIZ/DEN/HEN/ICH/NAW)
Post Date : 22 Januari 2013
|