”Setiap kali ada pemilihan kepala desa, saya diminta ikut menjadi calon. Saya tidak mau karena saya menikmati apa yang saya lakukan selama ini,” kata Johri (37), warga Dusun Bawak Nao, Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Tugas yang dinikmati Johri adalah mewujudkan niatnya membangun desa yang berlokasi di kaki Gunung Rinjani itu. Niat tersebut tercetus sejak dia kuliah di Institut Agama Islam Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Pria yang kerap dipanggil Ustaz Johri itu kerap mengajak rekan-rekannya melakukan bakti sosial dan penghijauan di Desa Sajang. Setamat kuliah pada 2000, dia pulang ke kampung halaman. Ia bekerja sebagai mandor pada perusahaan agroindustri sekaligus menjadi guru kontrak.
Dari keterlibatannya dengan warga desa, Johri paham betul bahwa air bersih adalah hal yang langka di sini. Ia lalu memutar otak dan berkonsentrasi pada upaya pengadaan air bersih yang bisa dinikmati 1.015 keluarga atau 4.512 warga di Desa Sajang.
Johri bercerita, akibat langkanya air bersih, di desanya sering terjadi pertengkaran suami-istri, baku mulut antar-ibu rumah tangga, dan konflik antarwarga desa. Penyebab pertengkaran itu acap kali bermula dari masalah air bersih. Hal itu makin sering terjadi pada musim kemarau.
Johri pun sempat merasa malu mengajak rekannya menginap di rumah sebab ia tak mampu menyediakan keperluan air bersih bagi sang tamu. Kelangkaan air bersih juga membuat warga desa harus menyewa mobil bak terbuka sekali dalam seminggu untuk membawa mereka ke sungai.
”Di sungai, warga desa kami bisa mencuci pakaian. Sementara untuk keperluan air bersih sehari-hari, didapat warga dari sumber air di Semporonan, sekitar 7 kilometer dari Dusun Bawak Nao, walau untuk itu kami harus antre dari pukul 19.00 sampai pukul 24.00,” katanya.
Kondisi itu bisa diatasi jika warga mempunyai sumber air ”sendiri”. Namun, Johri pun belajar dari pengalaman daerah lain yang memiliki program pengadaan air bersih. Program yang dilaksanakan pemerintah ataupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) tahun 1987-2005 itu relatif hanya berjalan seumur jagung.
Pasalnya, debit air relatif kecil dibandingkan jumlah pengguna. Selain itu, ada ”tangan jahil” yang tega membolongi pipa distribusi atau katup pembagi air agar mengarah hanya ke satu arah (desa) saja. Itu mengakibatkan desa lain, seperti Desa Sajang, tak kebagian jatah air bersih.
Pipa distribusi tersebut dibolongi di banyak tempat dan sebagian air bersih juga digunakan untuk mengairi tanaman di sawah mereka.
Situasi itu membuat warga Desa Sajang kesal. Hal tersebut kemudian mereka lampiaskan dengan merusak tanaman di sawah milik desa tetangga. Dalam situasi seperti ini, Johri berupaya meredam emosi warga. Ia menemui aparat serta para pemuka dan tokoh desa agar pembolongan pipa dihentikan.
Permintaan tersebut memang direspons warga desa tetangga, tetapi beberapa waktu kemudian pembolongan pipa terjadi lagi. Jadilah pada malam hari Johri bersama beberapa warga Desa Sajang menelusuri bagian pipa yang dibolongi. Mereka lalu menambal bagian pipa yang berlubang itu.
”Kami menambal pipa sampai tengah malam. Lalu, kami membangunkan warga supaya membuka keran dan mengisi bak penampungan mereka. Sebab, pada pagi hari aliran air bisa mandek lagi,” kata anak ketiga dari delapan bersaudara pasangan Amak Juaeni dan Sulhiah ini.
Memberi contoh
Johri menyadari, cara mendapatkan air bersih seperti itu tak bisa dipertahankan. Pada 2008, dari cerita warga yang kerap berburu rusa, ia mendapat informasi adanya sumber mata air baru di lokasi yang disebut Pancor Mas di kawasan Hutan Propok, berdekatan dengan Danau Segara Anak, Kaldera Gunung Rinjani.
Atas kesepakatan warga, didampingi Yayasan Masyarakat Peduli, ia diserahi tanggung jawab selaku koordinator pengadaan air bersih. Johri pun melakukan survei lokasi, rencana pemasangan pipa, mengatur giliran jadwal kerja, dan menaksir besaran dana pengerjaan. Sementara pembelian pipa dan material lain untuk keperluan itu ditanggung bersama. Sebagai ”komandan”, Johri pun mendapat giliran bekerja.
”Masyarakat itu melihat sosok pemimpin dari selarasnya perbuatan dan omongan mereka. Menjadi pemimpin itu seharusnya memberi contoh lewat kerja konkret,” katanya.
Dia juga turut bergelantungan di tebing dengan kemiringan 90 derajat guna memasang pipa. Pemasangan pipa sepanjang 25 kilometer itu selesai dikerjakan dalam waktu setahun, September 2009 sampai September 2010.
Pipa distribusi terpasang dan mengalirkan air bersih lewat Desa Sajang, disalurkan ke rumah warga di empat dusun, yakni Dusun Bawak Nao, Bawak Nao Lauk, Bawak Nao Daya, dan Dusun Bawak Tanggek. Total biaya pembangunan instalasi air bersih itu sekitar Rp 700 juta.
Namun, tugas Johri belum selesai karena krisis air hanyalah akibat. Sementara penyebabnya belum tersentuh, yaitu lingkungan hutan yang rusak. Oleh karena itu, ia mengajak warga desa untuk melanjutkan kebiasaan melakukan konservasi, seperti menanam bibit pohon beringin, sengon, serta gamelina di kebun dan pematang sawah.
Untuk keperluan itu, Johri meminta bibit kepada sejumlah instansi. Dia juga merogoh kocek pribadi guna membeli anakan pohon untuk dibagikan gratis kepada warga yang mau menanam. Hasilnya, antara lain, sumber mata air Semporonan yang sebelum tahun 2009 relatif mengering pada musim kemarau, mulai tahun 2010 masih menghasilkan air bersih meski tidak sebanyak saat musim hujan.
Sementara untuk mengantisipasi banjir yang kerap menggenangi kampung itu, Johri punya strategi. Saat hujan lebat, sambil membawa pacul dia ”berpatroli” dengan sepeda motornya berkeliling desa melihat selokan.
Jika ada selokan atau gorong-gorong yang mampet, Johri turun langsung menyisihkan material yang menyumbat saluran. Rupanya warga yang bermukim di sekitar lokasi selokan itu tak enak hati melihat dia bekerja sendirian. Mereka pun ikut membantu melancarkan aliran air selokan.
Bagi Johri, tak perlu menjadi kepala desa, yang lebih penting adalah peran konkret membantu kehidupan sehari-hari warga desa. Warga pun menyebut dia sebagai ”Presiden” Air Bersih.... Khaerul Anwar
Post Date : 21 Januari 2013
|