|
Sudah tiga musim kemarau terakhir Wakimin (60) bisa tersenyum lega. Kakek tiga cucu ini tak lagi berjalan kaki menuruni tebing setiap pagi dan sore sambil memikul klenting (wadah air) untuk menampung air di sungai yang nyaris kering kerontang. Wadah air dari gerabah itu kini dibiarkan teronggok di sudut dapur. Warga Dusun Glagahombo, Desa Blumbang, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, ini sejak tahun 2005 bisa memanfaatkan air dengan sistem mirip perusahaan daerah air minum (PDAM). Pipa paralon berukuran setengah inci tersambung dari bak penampungan langsung ke rumahnya yang semipermanen. Setiap hari air mengalir lancar, bahkan pada musim kemarau sekalipun. Warga juga tak dipusingkan oleh tagihan bulanan. Bak sepanjang 4 meter dengan lebar dan tinggi 2 meter yang dibangun di mushala menampung aliran air dari sumber air di lereng Bukit Wonopotro, yang berjarak sekitar 1,2 kilometer dari dusun itu. Tiga tahun silam sumber air itu digali dengan kedalaman 4 meter dan airnya dialirkan menggunakan pipa paralon. Semua itu dilakukan secara gotong royong oleh warga. Bantuan Pemerintah Kabupaten Boyolali sebesar Rp 11 juta digunakan untuk menggali sumber air dan membeli paralon tiga perempat inci untuk mengalirkan air ke bak penampungan. Bak di mushala itu dibuat dengan dana bantuan ditambah sumbangan warga Glagahombo yang menjadi pengusaha tongseng dan sate kambing di Jabodetabek. Mereka membuat kotak amal khusus di warungnya untuk membangun kampung halamannya. Penampungan air di mushala lalu dipasangi paralon menuju ke 40 rumah warga. Karyati (30), yang rumahnya tak terlalu jauh dari mushala, hanya mengeluarkan uang Rp 300.000 untuk membeli paralon setengah inci sepanjang 50 meter dan keran air. Selain 40 keluarga yang memanfaatkan sumber air dari bukit, sekitar 150 warga lain di dusun itu mendapat air dari sumur buatan yang debitnya cukup selama musim kemarau. Wakimin menuturkan, sebelum tahun 2005, tiap kemarau warga kerap kesulitan air bersih. Dusun Glagahombo, seperti halnya beberapa dusun lain di Kecamatan Klego, kering dan cenderung berdebu. Untuk mendapatkan air, Wakimin harus berjalan sekitar 1 kilometer dari rumah ke sungai kecil di bawah tebing yang lumayan curam. Untuk mendapat air satu klenting untuk memasak, ia harus antre berjam-jam. Air sungai sedikit, sedangkan warga yang akan mengambil air banyak. ”Setengah hari habis menunggu air,” kata Wakimin, Selasa (5/8). Menghijaukan hutan Aliran air yang cukup melimpah itu tidak datang begitu saja. Menurut sejumlah warga dan perangkat desa, sumber air baru bisa didapatkan setelah warga berinisiatif menghijaukan Bukit Wonopotro yang tandus. ”Dulu kalau mau menggali sumur pantek, sampai 35 meter belum ada air. Kalau mau menggunakan sumur, ada yang sampai memakai dua mesin pompa air. Sekarang 25 meter saja sudah ada air,” kata Kepala Desa Blumbang Miftahudin. Inisiatif warga menanam pohon muncul karena mereka sudah terlalu lama kesulitan air. Saat terjepit, muncul ide untuk meningkatkan kehidupan. Penanaman pohon dimulai tahun 2004 secara tidak beraturan. Sekelompok warga yang tergabung dalam Ikatan Muda-mudi Tanah Glagahombo (Imtag) mengambil bibit berbagai jenis pohon dari hutan di Kecamatan Kemusu dan ditanam di Bukit Wonopotro. Penanaman pohon rutin dilakukan minimal sebulan sekali. Awalnya mereka harus menghadapi masyarakat yang suka menebangi pohon untuk kayu bakar. Karena itu, sesekali waktu mereka meronda untuk mencegah kerusakan pohon. Baru setahun silam bantuan 500 bibit pohon dari Pemerintah Kabupaten Boyolali datang. Saat ini, dari lahan 7,5 hektar yang tandus di Bukit Wonopotro yang dikelola warga, seluas 4 hektar di antaranya ditumbuhi berbagai jenis pohon, seperti mahoni, beringin, mindi, dan johar. ”Kami belum bisa menyimpulkan program ini berhasil, tetapi kami sudah mendapat manfaatnya. Setelah pohon-pohon tumbuh di bukit, warga Glagahombo mudah mendapatkan air,” kata Koordinator Imtag Engar Progresto. Di dusun ini belum ada lembaga swadaya masyarakat yang berkampanye soal reboisasi. Program ini dari warga, oleh warga, dan langsung dirasakan manfaatnya oleh warga sehingga bisa terus berjalan meski perlahan. Mereka pun kini telah mendapat manfaat dari hasil ”menanam air” di lahan tandus. (Antony Lee) Post Date : 15 Agustus 2008 |