Bagi warga Kopenhagen, Denmark—tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim 2009—suhu hampir 0 derajat adalah agenda rutin tahunan. Sudah biasa.
Meski dingin menerpa, Natal tanpa salju telah tiga tahun mereka lewati. Itulah cerita beberapa warga Kopenhagen yang ditemui. Mereka sedang mengalami dampak perubahan iklim.
Sejak 7 Desember 2009, konferensi perubahan iklim diadakan. Lebih dari 22.000 peserta dari seluruh dunia sudah menyatakan niatnya hadir. Sebanyak 100 kepala negara lebih, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, siap bernegosiasi. Prediksi alotnya pembahasan, khususnya pada hari terakhir, telah mendorong Presiden AS Barack Obama akhirnya datang 18 Desember dari jadwal semula 9 Desember.
Negara-negara berkembang akan mendesak negara-negara maju (Annex I) mengumumkan besarnya penurunan emisi gas rumah kacanya (GRK). Sesuai data ilmiah, yaitu 25-40 persen tahun 2020 dari level emisi tahun 1990, agar temperatur global tidak naik 2 derajat.
Meskipun di Bali—pada Konferensi Perubahan Iklim PBB 2007—negara-negara maju telah berkomitmen, dalam perkembangannya mereka enggan. Mereka meminta negara berkembang ekonomi maju yang emisinya juga besar, seperti China dan India, juga berkomitmen. Indonesia juga disebut-sebut karena aktivitas konversi lahan gambut dan hutan alam.
Pekan lalu Denmark mengeluarkan Danish Proposal, yang di antaranya berisi usulan agar negara berkembang turut menurunkan emisinya dan mengarah kepada ”pembunuhan” Protokol Kyoto, yang periode pertamanya baru berakhir 2012.
Kelompok negara berkembang G-77 (termasuk Indonesia) plus China menolak. ”Jejak sejarah emisi adalah industri negara maju. Mereka yang wajib menurunkan,” kata Ketua Pokja Pasca-Kyoto 2012 Delegasi Indonesia Tri Tharyat. Indonesia akan mendesak komitmen sesuai Bali Action Plan, hasil di Bali.
Sementara negara maju sebagai pemilik sumber dana dan teknologi terus bermanuver, organisasi masyarakat menyerukan, ”Jangan hanya bicara uang, (materi negosiasi) dan amandemen. Namun, bicaralah tentang kehidupan kita, orang-orang di tempat lain, anak-anak, dan cucu kita,” kata Kim Carstensen dari Global Climate Initiative WWF.
Kelompok ahli perubahan iklim UNFCCC (IPCC) memprediksikan dampak katastrofik perubahan iklim. Mulai dari kekeringan di Afrika, negara-negara kecil di tengah samudra yang akan tenggelam, hingga kegagalan panen di Asia, Eropa, dan Amerika. Puluhan hingga ratusan juta jiwa berada di ambang kekeringan air, banjir, gelombang panas, dan kekurangan pangan. Sekretaris Eksekutif UNFCCC Yvo de Boer menyebut, COP Ke-15 merupakan ”titik balik” menuju pembangunan yang menjamin masa depan bersama. Di tengah suhu hampir nol derajat, delegasi 192 negara akan berdebat panas. (GSA)
Post Date : 08 Desember 2009
|