|
Air merupakan sumber kehidupan masyarakat lereng Pegunungan Muria, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Di kawasan yang menjadi tempat syiar Islam Sunan Muria itu terdapat ratusan mata air yang tersebar di sejumlah desa. Sumber-sumber air itu disalurkan ke permukiman-permukiman warga untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Dari sumber-sumber itu pula, warga lereng Muria mengairi lahan-lahan pertanian. Berkah air itulah yang melahirkan tradisi melestarikan mata air. Salah satunya adalah tradisi ngguyang cekathak atau mencuci pelana kuda milik Sunan Muria. Pada Jumat (7/9) pagi, enam pengurus Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria bersama puluhan warga menggelar tradisi itu. Mereka mengarak cekathak atau pelana kuda Sunan Muria dari museum peninggalan Sunan Muria di kompleks Masjid dan Makam Sunan Muria. Cekathak itu dibawa ke Sendang Rejoso untuk dicuci menggunakan air sendang. Sebelum ritual pencucian, warga menggelar selamatan memakan nasi guling kambing dan dawet. Setelah itu, sejumlah warga memercikkan dawet bersama air sendang. Salah seorang pengurus Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria, Muhammad Soleh, mengatakan, tradisi itu merupakan penerusan kebiasaan Sunan Muria. Dahulu, Sunan Muria kerap memandikan kuda dan mencuci pelana di Sendang Rejoso. Kebersamaan Setelah Sunan Muria wafat, warga meneruskan dengan mencuci pelana kuda Sunan Muria. Warga meyakini tradisi itu dapat melanggengkan mata air karena dibarengi dengan perawatan mata air. ”Nilai penting tradisi itu adalah selamatan atas kebersamaan bermasyarakat sekaligus upaya melestarikan mata air,” Soleh mengungkapkan nilai-nilai filosofis dalam tradisi itu. Rukamto (40), warga Desa Colo, menambahkan, masyarakat meyakini tradisi itu dapat mendatangkan hujan. Konon pernah terjadi setiap kali ngguyang cekathak, lalu datang hujan. ”Kami terus melanggengkan tradisi itu karena ingin melestarikan sumber-sumber air. Sunan Muria pernah berpesan kepada para pengikutnya agar selalu menjaga persaudaraan dan lingkungan hidup terutama air,” kata Soleh. Abad ke-15 Sunan Muria atau Umar Said diperkirakan lahir pada abad ke-15. Dia merupakan putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Umar Said menikah dengan Dewi Sujinah, kakak kandung Sunan Kudus. Dalam berdakwah, Umar Said dikenal toleran dan selalu meminta masyarakat menjaga alam dan air. Tidak mengherankan jika masyarakat di sekitar lereng Pegunungan Muria, terutama di Kudus, selalu menjaga toleransi dan lingkungan hidup. Namun, beberapa tahun terakhir ini sumber-sumber air Pegunungan Muria semakin berkurang. Ini terutama karena hilangnya sejumlah kawasan penangkap air (catchment area) di pegunungan itu akibat penggundulan atau penebangan hutan. Selain itu, terjadi pula penggundulan hutan akibat pembukaan lahan-lahan pertanian di lereng pegunungan. Hal itu diperparah oleh banyaknya warga setempat yang memperdagangkan air sumber-sumber itu. Berdasarkan data Kecamatan Dawe, setiap hari rata-rata 20 truk tangki air kapasitas 5.000 liter beroperasi di Kecamatan Dawe. Air itu dijual sebagai air minum langsung atau bahan baku air minum isi ulang. ”Eksploitasi yang terus berlangsung sejak tahun 1995 itu menyebabkan debit sejumlah mata air permukaan turun,” kata Camat Dawe Didik Sugiharto. Kepala Desa Colo Demung Falah mengatakan, di Desa Colo pengambilan air terjadi di lima mata air yang berada di kawasan Jurangkulon, Kalimati, dan Guan. Mata air di kawasan itu sudah mulai berkurang debitnya, dari 7,5 liter per detik menjadi 5 liter per detik. ”Agar air tidak cepat berkurang, pemerintah desa membatasi pengambilan air oleh truk-truk tangki, maksimal tujuh kali per hari,” kata Demung. Demung berharap kearifan lokal Sunan Muria terus langgeng dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, tradisi menjaga mata air itu perlu diimbangi pula dengan penghijauan di kawasan-kawasan Pegunungan Muria yang gundul, tidak hanya dengan membersihkan sendang. (HENDRIYO WIDI) Post Date : 12 September 2012 |