|
KETIKA saya berkunjung ke depertemen luar negeri di Jln. Pejambon Jakarta belum lama ini, seorang rekan baru yang bekerja di sana berseloroh. "Di Bandung ada wabah baru. Sampah bisa menjadi pembunuh," ucapnya sambil tertawa. Saya hanya bisa senyum kecut dan tidak bisa menolak pendapat itu. Februari lalu, memang gunungan sampah di TPA Leuwigajah longsor, menimbun puluhan rumah dan mengubur hidup seratus orang lebih penghuninya. Belum reda rasa duka kita, kasus yang sama terjadi di Lembang Kab. Bandung, walau jumlah korbannya jauh lebih sedikit. Memang, onggokan sampah akhir-akhir ini seakan menjadi ciri khas Kota Bandung. Tengok di Pasar Sederhana atau di Jln. Sindangsirna, tak jauh dari rumah dinas Kapolda Jabar maupun di Jln. Pasirkoja. Tumpukan sampah sudah menggunung. Entah di tempat mana lagi. Mungkin bagi orang di sekitar daerah itu, gunungan sampah ada sedikit manfaatnya. Kalau ada yang bertanya alamat rumah, mereka akan dengan mudah mengatakan, "Pokoknya.., tak jauh dari gunungan sampah". KOTA Bandung, sudah lama menyandang sebutan Kota Kembang. Predikat itu telah bertambah lagi. Bandung "Milan"-nya Indonesia. Pusat mode, mulai dari pakaian, sepatu, tas, musik, dsb. Karena itu, jika hari Sabtu dan Minggu, kendaraan yang berlalu lalang di kota ini sebagian besar bernomor polisi "B". Mereka datang dari Batavia untuk berbelanja dan menikmati udara yang agak segar. Tetapi, mereka pun kini terpaksa harus menikmati "sedapnya" aroma sampah sambil sumpah serapah, "Sampah sialan!" Jumat malam lalu, saya menjemput anak ke Ciwaruga, sebuah daerah di Bandung Utara. Saat itu, turun hujan cukup lebat. Ketika saya melewati Jln. Suria Sumantri, depan Kampus Maranatha, jalan telah berubah jadi sungai. Air mengalir cukup deras di badan jalan. Kondisi serupa saya jumpai di Jln. Sederhana, depan pasar. Semakin malam, malah air yang mengalir di jalanan semakin besar. Awalnya, saya mengerutkan dahi. "Apa yang terjadi?" tanya saya dalam hati. Tapi, saya akhirnya memaklumi, teringat ucapan Wali Kota Bandung Dada Rosada. Katanya, "Banjir yang melanda sebagian wilayah Kota Bandung tidak bisa dihindari. Selain curah hujan yang tinggi, banyak saluran air yang rusak dan tertutup sampah..." Saya memahami ucapan itu, karena mengelola sampah di Kota Bandung bukan pekerjaan mudah, terlebih setelah TPA Leuwigajah ditutup. Namun, Minggu pagi, saya kembali mengerutkan dahi, saat membaca berita tentang kekalahan Persib oleh Persita, 2-0. Di berita itu, Wali Kota Dada menyatakan, kekalahan Persib lebih disebabkan pemain kurang semangat. Kurang kerja keras. Analisis itu boleh jadi tepat pada sasaran. Tapi, pertanyaan bagi saya, apakah pernyataan senada sempat pula dilontarkan wali kota kepada aparatnya, ketika gunungan sampah begitu mudah ditemui di sudut-sudut kota, yakni adanya kurang kerja keras? Entahlah. Saya hanya khawatir, Kota Bandung akan mendapat julukan baru, "Kota Sampah". Ketika kemungkinan itu diberitahukan kepada istri teman saya yang sedang hamil tua, dia hanya berkata "Amit-amit jabang bayi!"(Endi S./"PR") Post Date : 07 Maret 2005 |