Kondisi pengungsi banjir dari kalangan warga miskin di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, Minggu (20/1), sangat memprihatinkan. Untuk buang air saja, pengungsi kesulitan karena jamban di semua toilet yang ada di tempat pengungsian meluap dan tak tersedia air bersih.
Bahan makanan yang melimpah di dapur umum juga tak diimbangi dengan penyediaan makanan yang lancar.
”Bu, mau buang air,” kata Rima (12) kepada ibunya. Bukan jawaban yang diperoleh, malah omelan yang diterima. ”Kamu tahan saja dulu. Toilet saja tidak ada yang bisa dipakai,” kata ibunya, Mujiati (35).
Kalau sudah tidak tahan lagi untuk buang air, menurut seorang pengungsi, Linda (30), tak ada jalan lain selain menampungnya di plastik. ”Kalau sudah tidak tahan, ya ditampung di plastik, terus buang di kali,” ucapnya.
Derita menahan buang air itu tidak hanya dialami Rima dan Linda, tetapi juga semua pengungsi banjir di kawasan kompleks Kantor Lurah Penjaringan yang berjumlah sekitar 1.000 jiwa. Mereka tersebar di Kantor Lurah Penjaringan, Puskesmas Penjaringan I, halte bus transjakarta, dan SD inpres di dekat kantor kelurahan itu.
Lokasi pengungsian itu merupakan lokasi terdekat dengan Jalan Gedong Panjang yang masih bisa diakses kendaraan dari tol. Terhitung sejak Kamis lalu, sebagian kawasan Penjaringan terisolasi akibat banjir setinggi 1,5 sampai 2 meter, yang merendam akses jalan-jalan utama di kawasan itu. Mobilitas warga hanya bisa dilakukan dengan menumpang perahu karet atau gerobak yang biaya sewanya sekali jalan mencapai Rp 50.000 untuk jarak 100 meter.
Sementara itu, toilet bergerak yang disediakan di depan kantor lurah, menurut sejumlah pengungsi, memang sudah disiagakan sejak hari Kamis saat banjir melanda kawasan Pluit. Namun, toilet itu tak pernah dioperasikan karena tak ada suplai air akibat aliran listrik dipadamkan sejak Kamis.
Apalagi untuk mandi, sejumlah pengungsi sudah tidak mandi selama empat hari. Toilet yang tersedia di kantor kelurahan maupun puskesmas tak berfungsi karena jambannya meluap dan airnya tidak mengalir.
Kendati Penjaringan dikenal sebagai kawasan permukiman elite di Jakarta Utara, tak sedikit pula kantong kemiskinan di daerah ini. Umumnya mereka bekerja sebagai kuli angkut pelabuhan atau anak buah kapal. Keterbatasan ekonomi membuat pengungsi dari kalangan warga miskin ini sangat mengandalkan bantuan, baik untuk makan, minum, maupun untuk mandi dan buang hajat.
Seorang ibu, Marina (45), sampai menangis karena sulit sekali memperoleh air minum. ”Aduh, mau cari di mana lagi ya? Saya haus sekali. Sejak pagi belum minum. Di dapur umum tidak ada. Di posko pengungsian di kantor kelurahan juga habis,” katanya dengan nada putus asa.
Tak hanya minim sarana sanitasi, air bersih, dan air minum, tetapi tak sedikit pula pengungsi di sini berjejalan tidur dengan sesama pengungsi. Beberapa warga lanjut usia hanya bisa tidur di selasar Puskesmas Penjaringan beralaskan tikar, sementara selasar itu dipenuhi tapak kaki penuh lumpur tanah.
Sebagian pengungsi di Kantor Lurah Penjaringan, yang tidak kebagian tempat, tidur di beranda kantor lurah itu tanpa dilindungi dinding terpal. Pengungsi yang sama sekali tidak kebagian tempat di kelurahan ataupun di puskesmas dan sekolah menggelar tikar di jembatan penyeberangan halte bus transjakarta tanpa perlindungan apa pun.
Untuk memberikan rasa hangat kepada anaknya, Lestari (32) hanya bisa mendekap bayinya, Haikal, yang masih berusia 7,5 bulan selama mengungsi di jembatan penyeberangan halte bus transjakarta di depan kantor lurah itu. Sementara di sampingnya tidur dua anaknya, Oki (8) dan Aji (7). Suaminya, Dede (35), masih pergi melaut menangkap ikan sejak banjir merendam kawasan Pluit dan Penjaringan. ”Untungnya Haikal tidak sakit selama ngungsi di halte, padahal kalau malam lumayan dingin,” tutur Lestari.
Soal makanan, beberapa pengungsi menuding pemerintah tidak adil karena lebih memperhatikan pengungsi banjir di Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jakarta Timur, dibandingkan pengungsi di Penjaringan. ”Di sini pernah dalam satu hari cuma sekali dikasih makan nasi bungkus. Makan siang saja, selalu lewat dari pukul 14.00. Beda dengan di Kampung Pulo yang selalu memperoleh perhatian dari pemerintah,” tutur Ani (30), ibu tiga anak ini.
Mujiati, ibu Rima, yang membantu memasak di dapur umum, mengaku, dia dan beberapa ibu yang memasak untuk pengungsi pun kewalahan karena peralatan masak yang disediakan sangat minim. Padahal, setiap hari dapur itu harus menyediakan lebih dari 200 bungkus nasi untuk pengungsi.
Tapi, bahan makanan yang disediakan, menurut Emi (35), ibu yang ikut bantu memasak, hanya beras dan mi instan.
Pengungsi di Kampung Melayu dan Bidara Cina di GOR Jakarta Timur juga mengaku kekurangan pasokan air bersih. (MADINA NUSRAT/NELI TRIANA)
Post Date : 21 Januari 2013
|