"Climategate" atau Pro-"Status Quo"?

Sumber:Kompas - 17 Desember 2009
Kategori:Climate

Kontroversi seputar tuduhan climategate, yang ramai diberitakan media dalam dua minggu terakhir, menjadikan jalan menuju Kopenhagen, khususnya Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15), sejak pekan lalu ibarat kerikil dalam sepatu. Yang ditakuti adalah bahwa kontroversi climategate akan menurunkan legitimasi kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang akan dibahas.

Aksi kolektif yang lebih solid untuk aksi pengurangan karbon di atmosfer pasca-Protokol Kyoto ditakuti tercederai karena dunia dikejutkan oleh berita-berita media Anglo Saxon dan Barat tentang climategate, yakni hasil akses hackers atas e-mail 160 megabytes dari Climate Research Unit (CRU) University of East Anglia di Inggris.

Yang menjadi sorotan adalah komunikasi e-mail antara Prof Phil Jones, Kepala CRU University of East Anglia, dan Prof Michael Mann, ahli palaeoklimatologi Pennsylvania State University. Tuduhan climategate ini berujung pada penghentian sementara Prof Jones dari posisinya demi investigasi atas e-mail bocoran tersebut.

E-mail yang paling disoroti adalah petikan e-mail Prof Jones kepada Prof Mann yang berbunyi, ”Saya baru saja menyelesaikan trik milik Mike di Nature dengan menambahkan suhu yang riil pada tiap serial data untuk 20 tahun terakhir (yakni sejak 1981) dan sejak tahun 1961 punya Keith untuk menyembunyikan kecenderungan turunnya suhu” (The Economist hal 91, edisi 28 Nov-4 Des 2009). Dalam keterangan Prof Mann kepada The Economist, dalam edisi yang sama, dijelaskan bahwa istilah trik tersebut dimaksudkan sebagai sebuah tindakan cerdas. Sedangkan istilah menyembunyikan dalam e-mail tersebut berkaitan dengan keputusan untuk mengeluarkan data set tree ring yang tidak konsisten dengan data riil iklim lokal.

Penulis berpendapat bahwa e-mail-e-mail tersebut ditafsir secara keluar dari konteks, sebagian lagi berkaitan dengan kelelahan saintis sebagai manusia. Hal yang sama bisa menimpa setiap saintis. Tentu saya tidak mengatakan bahwa saintis sebagai makhluk yang suci yang berhati mulia di balik model-model yang mereka ciptakan, bahkan ketika bermain dengan data-data iklim secara global yang tentunya tidak tersedia 100 tahun lalu.

Teori konspirasi?

Kecurigaan yang lain sebagai serangan balik pada kalangan skeptis yaitu bahwa di balik kenakalan hackers terdapat sponsor-sponsor perusahaan minyak fosil raksasa. Pihak Partai Demokrat di Amerika Serikat semakin sulit membuat perubahan dan Partai Republik dipastikan mengambil untung dari peristiwa ini. Dicurigai, terdapat agenda ekonomi politik yang hendak mencederai konsensus global atas iklim. Kevin Ruud yang harus datang dengan tangan kosong ke Kopenhagen bisa secara sinis dihibur oleh lawan politiknya.

Dalam berbagai riset persepsi publik AS awal 2000-an, penduduk AS terkenal paling tidak sadar terhadap isu perubahan iklim. Anugerah Hadiah Nobel Perdamaian kepada Al Gore dianggap membantu menaikkan kesadaran tersebut. Rasmussen Report yang yang dikeluarkan 3 Desember 2009 menyebutkan hasil jajak pendapat di AS, 59 persen mengatakan saintis memanipulasi data mereka untuk mendukung keyakinan mereka. Hanya 22 persen yang menganggap data PBB sebagai sumber yang bisa dipercaya. Singkatnya, semakin sulit membuat kebijakan iklim berbasis opini publik di AS.

Sains menjadi sains karena metodenya. Geologi cenderung tidak sependapat dengan klimatologi dalam menjelaskan perubahan iklim karena berbeda secara metode. Sebagian besar geolog cenderung mengatakan, perubahan iklim yang antropogenik adalah ilusi karena dalam skala waktu geologis yang diukur dalam di atas empat digit. Tetapi, bila Anda adalah pengambil kebijakan tentang iklim tentu keliru besar meminta pendapat geolog. Bahwa di dalam klimatologi ada juga yang skeptis dengan perubahan iklim antropogenik, hal itu dianggap lumrah karena sains menjadi kuat karena dilahirkan dalam spiral tesis-sintesis-antitesis yang bergerak maju.

Menghilangnya salju abadi di Kutub Utara yang berlangsung sangat cepat tentunya menjadi bukti tersendiri yang dianggap cukup bagi sebagian orang di arena publik. Namun di dalam sains, persetujuan, konsensus tidak datang dari langit, tetapi datang rantai yang tidak putus dari berbagai upaya mempertanyakan hasil-hasil penelitian sebelumnya, pengulangan demi validitas, serta peningkatan kualitas penelitian dari sebelumnya.

Tanpa sikap skeptis pada derajat tertentu, manusia tidak mungkin maju dan sains tidak mungkin berkembang, masyarakat manusia pun tidak mungkin tiba pada ”kemajuan” hari ini. Hari ini tentu masih ada yang terus meragukan apakah benar Amerika Serikat pernah betul-betul mendarat di Bulan 30 tahun lalu? Dalam ilmu yang penulis geluti, dalam 50 tahun terakhir para ahli bencana masih terus berdebat apa itu bencana.

Pelajaran penting

Hal ini mengingatkan kita pada perdebatan tentang sains, kebijakan publik serta politik, khususnya berkaitan dengan tata kelola lingkungan Bumi dan iklim dari perspektif riset ilmu manusia atau yang sering direduksi sebagai ilmu sosial. Klaim obyektivitas sains dari scientism sering dibenturkan pada kondisi global yang cenderung ambigu di mana sulit dibedakan mana sains yang dipolitisasi dan sains yang benar-benar sains. Mungkin kita sedang menuju apa yang oleh Rolf Lidskog disebut sebagai fenomena sciencetization of citizen and humanization of science.

Sayangnya, jalan menuju ke sana tidaklah mudah. Dalam konteks perdebatan seputar perubahan iklim (aspek fisik iklim kebumian maupun dimensi manusia, seperti kebijakan iklim dari aspek sosial, ekonomi, politik) selama sepuluh tahun terakhir, para ilmuwan khawatir akan sikap ilmuwan maupun politisi lainnya yang gampang memolitisasi sains. Derajat ketidakpastian pengetahuan yang diproduksi ilmuwan terjadi di berbagai aras, baik secara internal maupun eksternal (konteks politik dan politisasi).

David Guston menyarankan soal melupakan debat tentang politisasi sains dan lebih penting untuk berbicara tentang demokratisasi sains. Argumentasi dasar adalah bahwa manakala sains memberikan masukan bagi pemerintah, kepentingan politik tidak mungkin terhindarkan. Yang utama adalah bagaimana memastikan secara bersama bahwa proses tersebut bersifat demokratis dan terbuka pada publik.

Kontroversi climategate dapat menjadi pelajaran yang secara teoretis penting bagi kelangsungan sistem produksi ilmu pengetahuan pada masa depan, terutama yang berkaitan dengan klaim perubahan sistem kebumian yang antropogenik, termasuk iklim.

Bahwa pengetahuan tentang perubahan iklim sebagai sesuatu yang riil merupakan hasil konsensus para ahli dunia dan bukan pekerjaan segelintir ilmuwan. Karena itu, amunisi COP-15 tetap berpegang pada hasil penilaian IPCC-4 tahun 2007 bahwa perubahan iklim antropogenik benar terjadi.

Semoga yang terbaik bagi semua dengan prinsip-prinsip yang adil iklim, adil risiko, bisa diputuskan di Kopenhagen, lepas dari pengaruh kontroversi climategate.

Jonatan Lassa Kandidat PhD di Universitas Bonn; Alumnus University of East Anglia, Inggris; Co-editor Journal of NTT Studies



Post Date : 17 Desember 2009