|
Persoalan air di DKI Jakarta ditimbulkan oleh aneka rupa penyebab seperti zat dan kotoran yang mencemari air itu. Persoalannya berawal di hulu. Masalahnya bertambah di sepanjang sungai yang dilalui, kian jauh mengalir kian rumit, dan menjadi pelik sesampainya di hilir. Karena keterbatasan volume dan distribusi, kini hanya 59 persen warga Jakarta yang mendapatkan air bersih. Air tanah sebagai alternatif juga tak bebas dari persoalan. Begitulah kenyataannya, walau pada masa kolonial silam, Kepala Waterstaat en Wederopbouw Irigasi dan Sanitasi Batavia, WJ van Blommestein, insinyur Belanda kelahiran Kertosuro, Solo, sudah merumuskan gagasan perihal ketersediaan air untuk pertanian dan bagi sanitasi kota yang kini bernama Jakarta. Ketika revolusi fisik masih berkecamuk, pada tahun 1948 Blommestein menuangkan gagasan mengembangkan sumber daya air secara terpadu mulai dari Ciujung di Banten sampai ke Kali Rambut di Pekalongan, Jawa Tengah, dalam tulisan berjudul Een Federal Welvaartsplan voor het westelijk gedeelte van Java. Gagasan Blommestein inilah yang ditinjau kembali oleh Pemerintah Indonesia yang bertekad mencukupi sendiri kebutuhan pangan nasional pada tahun 1956. Saat itu, disusunlah rencana pengembangan sumber daya air terpadu, mulai dari Ciliwung sampai Cilalanang di Indramayu. Inilah yang menjadi dasar pembangunan Proyek Serbaguna Jatiluhur tahun 1958. Pada tahun 1958 itu juga antara Kali Bekasi dan Ciliwung dibangun Bendungan Bekasi dan Saluran Tarum Barat sepanjang 14,5 kilometer. Semula, debit air Tarum Barat direncanakan 9 m3/detik, untuk keperluan penggelontoran Ciliwung di musim kemarau 5 m3/detik, serta untuk irigasi daerah Sunter dan sekitarnya sebesar 4 m3/detik. Antara Kali Cipinang dan Ciliwung dibangun pula gorong-gorong (close conduit) sepanjang 1,2 kilometer. Waktu berjalan dan kebutuhan akan air baku untuk Jakarta terus meningkat, mengiringi pertumbuhan penduduk dan perkembangan kota. Dewasa ini pasokan air baku dari satuan wilayah sungai (SWS) Citarum melalui Tarum Barat untuk Jakarta 14,131 m3/detik. Berdasarkan catatan Perusahaan Umum Jasa Tirta (PJT) II Jatiluhur pengelola sumber daya air di SWS Citarum pasokan air baku untuk Jakarta ini masih dapat ditingkatkan sampai pada kebutuhan di tahun 2025, yaitu 40 m3/detik atau 1,26 miliar m3/tahun. Persoalan di hulu Hanya saja, terlalu mengandalkan Tarum Barat agaknya penuh risiko. Ketika tanggul itu jebol pada tahun 2002, suplai air bersih untuk DKI terganggu selama seminggu. Peristiwa yang sama bisa saja terulang karena di sepanjang Tarum Barat terdapat 30 titik rawan yang setiap saat bisa longsor atau jebol. PJT II yang bertanggung jawab menangani air baku di bagian hulu itu kini pun kekurangan biaya operasional dan pemeliharaan saluran, yang seharusnya tercukupi oleh kompensasi biaya air baku yang digunakan Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta (PAM Jaya). Tetapi, realisasi pembayaran oleh PAM Jaya masih jauh dari harapan (lihat Tabel Tarif Air Baku). Keterbatasan biaya pemeliharaan itu mengakibatkan fungsi prasarana pengairan menurun. Kemampuan penyaluran air baku susut sehingga sering mengganggu kontinuitas pasokan. Pada bulan November 2005, misalnya, PAM Jaya memerlukan air 24.364.800 m3 atau 9,4 m3/detik, tetapi yang dapat dikirimkan PJT II hanya 23.3030.620 m3 atau 8,99 m3/detik. Ketika kemampuan penyaluran air baku merosot, perhitungan PAM Jaya malah menunjukkan bahwa untuk air bersih Jakarta memerlukan suplai air baku rata-rata 16,2 m3/detik (430 juta m3/tahun) pada tahun 2006, atau 80 persen dari seluruh kebutuhan Jakarta saat ini. Pada awal Januari 2006, dari rencana suplai 16,2 m3/detik yang terealisasi baru 14,131 m3/detik. Jika tak ada peningkatan kapasitas suplai Tarum Barat atau tanpa pembangunan saluran alternatif, kebutuhan air baku pada tahun 2011 (27,10 m3/detik) sulit terpenuhi. Kesangsian untuk memenuhi kebutuhan secara kuantitas ini melengkapi masalah air yang secara kualitas merosot kian serius. Sejak dari sumbernya di waduk sampai ke lokasi instalasi penjernihan, tidak ada buffer zone yang dapat melindungi air dari pencemaran. Kandungan lumpur Kali Bekasi pada musim hujan, misalnya, sangat tinggi. Kalau kemarau tiba, yang sangat tinggi adalah kandungan kimia. Solusi yang diusulkan adalah membuat sifon Tarum Barat di bawah Kali Bekasi. Apabila kualitas air Bekasi tidak layak, air baku untuk PAM Jaya disuplai melalui sifon Bekasi itu. Hanya saja, lagi-lagi ketiadaan dana mengakibatkan usul ini baru sebatas coretan di kertas. Masalah di hilir Kesenjangan antara kebutuhan dan suplai dari hulu itu kini bertumpuk dengan aneka macam ketidakpuasan konsumen di hilir. Air minum keruh dan berbau. Aliran ke pipa di rumah penduduk tidak ada atau kecil. Tagihan dapat terjadi berulang- ulang atau tidak sesuai dengan pemakaian. Selama puluhan tahun masalah ini bagaikan tidak teratasi. Hingga kini warga yang belum mendapatkan air minum dari PAM Jaya hanya melihat air tanah sebagai pilihan. Air tanah ini juga disedot untuk keperluan komersial dan industri sehingga mengakibatkan amblesnya permukaan tanah di beberapa tempat di Jakarta yang rata-rata telah mencapai penurunan 2,8 cm/tahun. Untuk mengurangi abstraksi air tanah ini, tak ada jalan lain selain meningkatkan perluasan cakupan pelayanan oleh PAM Jaya. Tetapi persoalan klasik, keterbatasan biaya, tetap jadi kendala. Maka, digandenglah mitra swasta asing yang memiliki prestasi internasional di bidang pengelolaan air: Lyonnaise des Eaux dari Perancis dan Thames Water International dari Inggris, dalam ikatan kerja sama untuk waktu 25 tahun (hingga 2022). PAM Jaya yang telah lebih dari 75 tahun mengurus air minum dulu bernama Waterleidingen, didirikan pada 22 Desember 1922 memberikan hak pengelolaan air minum di seluruh wilayah pelayanannya kepada mitra swastanya itu, kecuali untuk pantura dan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Pengelolaan ini meliputi proses pengolahan air baku, rehabilitasi dan pembangunan fasilitas distribusi, sampai ke penanganan keluhan konsumen. Jakarta pun dibagi dua. PT Thames PAM Jaya (TPJ) menguasai bagian timur Ciliwung, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) mendapat jatah sebelah barat. PAM Jaya hanya mengawasi, memeriksa, dan memonitor pelayanan. Agaknya tidak banyak manfaat yang diperoleh lewat kerja sama ini. Ketika kerja sama dimulai tahun 1998, PAM Jaya melayani 266.402 pelanggan. Sampai triwulan III tahun 2005 jumlah itu menjadi 707.836 (364.485 pelanggan TPJ dan 342.974 pelanggan Palyja). Meski terjadi penambahan pelanggan, cakupan pelayanan kedua perusahaan ini masih 59 persen dari kebutuhan Jakarta. Dalam pada itu, angka kehilangan air (unaccounted for water/UFW, yakni selisih antara volume air yang disalurkan dan yang ditagihkan kepada pelanggan) sebagai sumber kerugian senantiasa tinggi dan memusingkan PAM Jaya sebagai pengelola di hilir. Kehilangan air ini terjadi secara fisik (karena kebocoran) maupun secara komersial akibat konsumsi ilegal yang porsinya sampai 75 persen angka UFW. Setelah tujuh tahun ditangani mitra asing, angka UFW, yang pada tahun 1996 sampai 57 persen, pada tahun 2005 hanya turun hingga 49,79 persen. Tahun 2005 itu volume air yang terjual hanya 275 juta m3, sedangkan yang disalurkan mencapai 550 juta m3. Pada tahun itu TPJ menemukan 1.622 kasus sambungan ilegal dan 3.065 kasus konsumsi ilegal. Menurut perjanjian, ketika kerja sama ini berakhir pada tahun 2022, penduduk DKI yang akan mendapatkan air baru 68 persen, tanpa penambahan instalasi pengolahan air (IPA), dan tingkat kehilangan air menjadi 26 persen. Ini bertolak belakang dengan rencana PAM Jaya yang untuk tahun 2022 menargetkan 100 persen penduduk terlayani, ada IPA baru dengan kapasitas 10.000 liter/detik, dan tingkat kehilangan air 25 persen. Kini, tanpa merasakan perbaikan pelayanan yang berarti, konsumen dibebani oleh penyesuaian tarif otomatis (PTO) yang ditetapkan Gubernur DKI setiap enam bulan, mulai dari tahun 2005 hingga 2007. Kebijaksanaan PTO diberlakukan untuk menjaga agar perjanjian kerja sama tidak mengalami defisit dan beban kenaikan tarif air minum tidak melonjak tinggi. Kenaikan tarif air minum itu sesuai dengan periode penyesuaian water charge, biaya yang harus dibayarkan kepada TPJ dan Palyja untuk setiap meter kubik air yang terjual. Pada awal tahun 2005 tarif air bersih naik 8,14 persen (tarif rata-ratanya menjadi Rp 4.965/m3). Pada semester II tahun yang sama terjadi lagi kenaikan 9,49 persen sehingga tarif rata-ratanya Rp 5.473/m3. PTO untuk awal tahun 2006 ini ditangguhkan setelah kenaikan harga bahan bakar minyak membuat biaya hidup kian tinggi. Penangguhan PTO itu mungkin melegakan, tetapi bisa membuat pemasangan pipa, penggantian meteran air, dan perbaikan kebocoran juga tertunda. Akhirnya, kualitas dan kuantitas air juga yang tak akan mengalami perbaikan. Kisah kebutuhan dan suplai air untuk Jakarta bagaikan aliran masalah yang bergerak dari hulu sampai ke hilir, sepanjang masa.BE Julianery Litbang Kompas Post Date : 09 Februari 2006 |