"Air Bah Itu Menerjang Segalanya..."

Sumber:Kompas - 23 Maret 2007
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Winarti (37), warga Desa Purwosari, Kecamatan Kwadungan, Kabupaten Ngawi, Kamis (23/2), mendekap erat anak perempuannya yang masih bayi. Dari raut wajahnya, masih jelas tergambar sisa-sisa kekhawatiran dan kecemasan akibat banjir yang melanda tempat tinggalnya.

Winarti merupakan salah satu warga dari puluhan lainnya yang terjebak di tempat tinggalnya selama hampir enam jam ketika terjadi banjir pada Rabu (21/3) pagi lalu. Sunarti selamat bersama anak perempuannya setelah ditolong tetangganya yang sedang menyisir permukiman warga guna memberikan pertolongan.

"Banjir datang seperti bah. Tidak kurang dari 45 menit air langsung datang dengan ketinggian sekitar 1,5 meter," ujarnya mengenang. "Waktu itu saya masih tidur terlelap bersama anak saya. Saya terbangun karena kaget kepala basah terkena air," tuturnya. Ketika ditemui, Winarti sedang membersihkan rumah tinggalnya dari kotoran dan sampah yang hanyut terbawa banjir.

Karena panik, Winarti langsung naik ke atas lemari sambil menggendong bayinya. Dia tidak berani keluar rumah karena melihat derasnya terjangan banjir di jalan desa. Dia hanya bisa berteriak- teriak minta tolong, sedangkan bantuan baru datang sekitar enam jam kemudian. Saat itu suami Winarti sedang berada di Surabaya.

Kisah Winarti tersebut merupakan sepenggal gambaran kepanikan warga saat bergulat dengan maut dan bencana. Banjir yang melanda 20 desa di wilayah perbatasan Kabupaten Madiun, Kabupaten Ngawi, dan Kabupaten Magetan, Rabu kemarin, kembali menjadi sebuah pertanda dan pengingat bagi manusia agar mereka selalu ramah kepada alam dan lingkungan.

Bukan yang Pertama

Menurut Suparwanto (45), Kepala Dusun Gambuhan I, banjir yang terjadi sejak dua hari lalu sebenarnya bukanlah yang pertama. Namun, dia mengisahkan, banjir tahun ini merupakan yang terbesar karena ketinggian air di seluruh dusun rata-rata mencapai 1,5 meter.

"Bencana banjir tahun ini paling membuat khawatir warga. Banyak anak-anak dan lanjut usia hampir hanyut karena aliran air yang deras. Sekitar 50 warga dusun terjebak di rumah masing-masing. Mereka selamat karena naik meja, lemari, dan barang perabot lainnya," kata Suparwanto.

Menurut Prayitno, petugas lapangan dari Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat, banjir memang kerap terjadi di Kecamatan Kwadungan. Jika ditelusuri, penyebab banjir adalah faktor geografis mengingat Kecamatan Kwadunan ini merupakan daerah yang terletak di dataran rendah.

Selain itu, Kecamatan Kwadungan yang memiliki luas wilayah sekitar 60 kilometer persegi dan jumlah penduduk 900 keluarga ini juga terletak di bawah aliran sungai. Pada musim hujan air sungai kerap meluap karena mendapat tambahan air dari Bukit Sidosari yang hutannya gundul.

Dari pengamatan Kompas, Bukit Sidosari merupakan kawasan hutan tropis yang terdiri tanaman pinus dan cemara. Sebagian kawasan hutan ini gundul dan tidak memiliki tanaman pelindung. Kawasan hutan menjadi terbuka karena digunakan sebagai lahan pertanian oleh warga setempat.

Hingga Kamis siang, banjir di Kabupaten Ngawi dan Madiun belum surut karena ketinggian air masih sekitar satu meter. Aktivitas transportasi, perekonomian, dan pendidikan setempat lumpuh total.

Karena air tak kunjung surut, sebagian besar warga Kwadungan tidak berani kembali ke rumah. Meski belum tersedia posko pengungsi, mereka lebih memilih tinggal sementara waktu di balai kecamatan bersama dengan korban banjir lainnya.

Aktivitas pendidikan di SD Negeri Simo I, Kwadungan, Ngawi, juga tidak berjalan karena seluruh bangunan sekolah masih terendam air. Pihak sekolah memutuskan untuk meliburkan murid dan guru hingga air banjir sudah surut kembali.

Sementara itu, banjir di Kabupaten Madiun sudah mulai surut pada Kamis sore. Sebagian warga Perumahan Rejomulyo sibuk bekerja bakti dan bergotong-royong membersihkan jalan dan lingkungan yang kotor tersapu banjir. Di tempat ini, sekitar 100 rumah milik warga terendam banjir.

Banjir yang terjadi di sekitar 20 desa di wilayah perbatasan Ngawi, Madiun, dan Magetan ini memang menyisakan banyak kesedihan dan kekhawatiran. Bagi sebagian warga, bencana ini menjadi semacam pengingat bahwa manusia tidak bisa menghindar dari kemurkaan alam. Oleh Boni Dwi Pramudyanto



Post Date : 23 Maret 2007