|
Saat Tempo menyeberangi Kepulauan Seribu, sebentuk garis melintang di atas air. Dari jauh tampak seperti ular raksasa yang bergerak mengikuti gelombang. Semakin dekat, semakin jelas. Pemandangan itu adalah sampah yang menyerupai ular. Ada bungkusan makanan, minuman, potongan pohon, serta bekas tempat tidur dan sofa! Wow.... Pantai utara Jakarta memang sudah menjadi lautan sampah. Kumpulan sampah yang terapung itu bersatu membentuk garis dengan lebar sekitar satu meter dan panjang tidak kurang dari satu kilometer. Tumpukan sampah tersebut akan bubar manakala angin laut bertiup kencang. Sampah jenis limbah padat itu memang menjadi pemandangan tersendiri di lautan seputar Kepulauan Seribu, terlebih di pulau-pulau yang masih dekat dengan daratan Jakarta. Pola kuantitasnya mirip dengan limbah cair, yang juga mencemari Laut Jakarta. Seperti diketahui, kadar kepekatan limbah cair terlihat dari gradasi warna air laut, dari cokelat kehitaman di Teluk Jakarta; hijau, sedikit ke tengah; dan baru berwarna biru ketika benar-benar sudah di tengah-tengah laut yang jauh dari daratan Jakarta. Keberadaan sampah-sampah di lautan itu tak ayal memancing kecemasan otoritas setempat. Wajar saja, perkembangannya dari waktu ke waktu memang semakin mengkhawatirkan. Bukan hanya berada di Pulau Untung Jawa, tapi menyebar ke pulau-pulau yang lain. Pemerintah Administrasi Kabupaten Kepulauan Seribu mencatat, pada 2002, sampah itu baru mencapai Pulau Bidadari, sekitar 20 kilometer di utara daratan Jakarta. Namun, setahun kemudian sampah sudah menjangkau Pulau Untung Jawa. Lolos dari Pulau Pari setahun berikutnya, pada 2005 sampah sudah merapat ke Pulau Pramuka, yang berjarak sekitar 70 kilometer dari pesisir Jakarta. Pulau Pramuka, yang menjadi lokasi pusat pemerintah kabupaten ini, sudah dekat dengan zona inti Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. "Itu merusak keindahan," kata Bupati Kepulauan Seribu Djoko Ramadhan. Sejauh ini, sampah-sampah tersebut sudah menimbulkan masalah. Sahrijal, yang sehari-hari mengoperasikan kapal pemerintah kabupaten, menuturkan, baling-baling yang terendam air sering terlilit sampah. "Harus berhenti untuk membersihkan kalau tak mau macet," katanya. Kendala akibat sampah pada kapal tentu lebih merepotkan pemilik kapal tradisional. "Saya harus menyelam," ucap Beni, seorang nelayan. Dari mana datangnya sampah, Djoko meyakini, tidak dari pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Sampah Jakarta dibawa 13 sungai yang bermuara ke laut. Selain dari Jakarta, Djoko melanjutkan, sampah datang dari daerah Banten. Keterangan Muhamad Ali, Wakil Lurah Pulau Pramuka, menguatkan pendapat Djoko. "Plastiknya mahal-mahal, mana ada di sini," tuturnya secara terpisah. Ali bahkan hafal ragam sampah berdasarkan kategori daerah asalnya. Sampah dari Jakarta umumnya barang sehari-hari, yang didominasi bungkus makanan dan minuman. Adapun yang dari Banten biasanya berupa potongan-potongan tumbuhan, seperti eceng gondok atau pelepah pisang. Sampah-sampah yang terdampar di pinggir pantai itu ternyata tidak sedikit. Menurut Kepala Subbagian Tata Usaha Suku Dinas Kebersihan Kepulauan Seribu Syafrudin Madjid, setiap hari sampah yang terkumpul mencapai 300 meter kubik. Langkah penyisiran sampah tersebut, Syafrudin menerangkan, didukung oleh 70 orang pegawai kebersihan. Mereka menangkap sampah-sampah yang terdampar di pulau dengan jaring. Dalam penilaian Hairuddin, dari Koalisi NGO (Non Governmental Organization) Peduli Pulau Seribu, upaya penyisiran sampah seperti itu tidak efektif. "Kesannya pemerintah tidak serius," ujarnya. HARUN MAHBUB Post Date : 05 Juli 2006 |