|
JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, menginginkan tarif air minum naik sebesar 10 persen. Ini sebagai akibat kenaikan tarif dasar listrik (TDL) oleh pemerintah pusat. ''Setelah listrik naik, tidak mungkin tarif air tidak naik,'' ujar Sutiyoso, Senin (23/1) di Jakarta. Hanya saja kenaikan ini perlu direm angkanya. ''Kalau mungkin di bawah 10 persen,'' katanya. Achmad Lanti, ketua Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta mengatakan, pihaknya belum mendapatkan putusan besaran kenaikan tarif air. Namun saat bertemu dengan pimpinan daerah kemarin, tarif air akan naik antara 5-17,32 persen. ''Kalau gubernur bilang di bawah 10 persen, ada kemajuan dibandingkan 17 persen,'' tuturnya. Lanti menambahkan, kenaikan tarif air ini tidak berdiri sendiri. Ini dipengaruhi juga oleh kenaikan TDL, air baku, dan air curah. Kenaikan faktor-faktor ini belum dimasukkan ke dalam perhitungan tarif air yang tertunda. Faktor-faktor ini diperhitungkan secara akumulasi pada kenaikan tarif air di semester kedua 2006. Pasalnya sesuai dengan perjanjian kerjasama, tarif air naik setiap enam bulan. Sedangkan tentang pelayanan yang diberikan dua mitra asing PDAM, PT Thames Jaya dan PT Palyja, Lanti mengatakan, mereka harus meningkatkannya. Bahkan gubernur sudah memperingatkan akan memberikan sanksi yang lebih keras apabila tidak ada peningkatan pelayanan. Kenaikan tarif air ini dinilai Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai hal yang memberatkan masyarakat. Pasalnya upaya kenaikan tarif air tidak disertai peningkatan kualitas pelayanan terhadap publik. Kenaikan pun dijadikan alat untuk membayarkan utang dua operator mitra PDAM dalam bentuk valas. Wakil Ketua DPRD DKI, Inggard Joshua, mengharapkan Gubernur DKI menunda menaikkan tarif air minum. Ia yakin, kedua perusahaan ini telah melakukan wanprestasi. Kerjasama yang dilakukan dengan PDAM hanya menguntungkan mereka saja. Ini dapat terlihat dari utang pokok yang membengkak hingga Rp 1,6 triliun. Padahal sebelumnya utang itu hanya sebesar Rp 700 miliar. ''Masa rakyat yang harus menutupi utang ini,'' ujarnya. Lain halnya dengan Direktur LBH Jakarta, Uli Parulian Sihombing SH. Ia mengatakan, kerjasama PDAM Jaya dengan dua operatornya harus segera diputus. Ini lantaran tidak ada tanggung jawab kedua mitra PDAM Jaya itu terhadap publik. Mereka semakin menjauhkan masyarakat miskin Jakarta dengan kebutuhan air bersih. ''Seharusnya produk perjanjian kerjasama itu disesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang judicial review Undang-Undang Sumber Daya Air (UU Nomor 7 Tahun 2004,'' kata Uli. Dari aspek hukum publik, imbuh Uli, produk kerja sama yang sudah dilaksanakan bertahun-tahun ini bisa dicabut. Pasalnya, kerja sama ini tidak menghasilkan keuntungan untuk masyarakat. Malahan akses masyarakat miskin terhadap air bersih semakin jauh karena harga yang dibebankan kepada masyarakat terus-menerus meningkat. Sebelumnya Sutiyoso mengatakan, kenaikan tarif air minum ini merupakan bagian dari implementasi penyesuaian tarif otomatis (IPTO) yang ditandatangani oleh gubernur sejak tahun 1997. Rata-rata tarif air saat ini adalah Rp 5.437 per meter kubik. Dengan perhitungan naik 17,32 persen maka rata-rata kenaikan tarif air sebesar Rp 941,69 per meter kubik. Sedangkan, untuk golongan paling rendah, tarif air naik 11 persen, dari Rp 900 menjadi Rp 1.000. Awal Juli 2005 lalu , kenaikan berkisar antara 5 sampai 63 persen. Gol I dan II, dari Rp 550 ke Rp 900. Gol III, kenaikan 8-11 persen. Gol III A (rumah tangga kaya), dari Rp 5.100 menjadi Rp 7.500. Gol IIIB (gedung bertingkat), dari Rp 5.700 menjadi Rp 6.800. Sedangkan Gol IV, kenaikan 6 persen dari Rp 9.750 mjd Rp 10.400 per meter kubik. Untuk golongan khusus, kenaikan 5 persen, Rp 11.500 jadi Rp 12.150. ( c34 ) Post Date : 24 Januari 2006 |