|
JAKARTA -- Kerjasama PDAM Jaya dengan dua operatornya, PT Palyja dan PT Thames Jaya, menurut Direktur LBH Jakarta, Uli Parulian Sihombing SH, harus segera diputus. Ini lantaran tidak ada tanggung jawab kedua mitra PDAM Jaya itu terhadap publik. Mereka semakin menjauhkan masyarakat miskin Jakarta dengan kebutuhan air bersih. ''Seharusnya produk perjanjian kerjasama itu disesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang judicial review Undang-Undang Sumber Daya Air Nomor 7 tahun 2004,'' kata Uli kepada Republika, Rabu (4/1). Putusan itu menyatakan, negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat atas air. Putusan ini juga menyebutkan, tanggung jawab penyediaan air minum diselenggarakan oleh pemerintah melalui BUMN/BUMD. Air, tambah Uli, bukanlah komoditas ekonomi, melainkan kebutuhan masyarakat. Untuk itu perlu transparansi dalam penyelenggaraannya. Menurutnya, kedua mitra PDAM ini tidak melakukan hal tersebut. ''Mereka melakukan kenaikan tarif air tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakat.'' Menurut Uli, dari aspek hukum publik, produk kerja sama yang sudah dilaksanakan bertahun-tahun ini bisa dicabut. Pasalnya, kerja sama ini tidak menghasilkan keuntungan untuk masyarakat. Malahan akses masyarakat miskin terhadap air bersih semakin jauh karena harga yang dibebankan kepada masyarakat terus-menerus meningkat. Maringan Pangaribuan, ketua Tim Kecil Evaluasi Terhadap Pelaksanaan Kerjasama PDAM Jaya dengan PT Thames Jaya dan PT Palyja, mengatakan senada. Dia menilai, kedua mitra asing ini terlalu banyak berjanji. Salah satunya menyediakan air bersih yang siap minum di tahun 2007. ''Namun lagi-lagi mereka berkelit dengan mengatakan, tidak ada kekuatan. Pasalnya selama dua tahun tarif air tidak naik,'' ujarnya. Saat ini pun, tambah wakil ketua DPRD DKI Jakarta ini, masyarakat belum dapat merasakan pelayanan yang baik dari PDAM Jaya bersama mitranya. Masyarakat tidak menikmati air bersih yang berkualitas. Bahkan di beberapa tempat muncul dalam warna kecokelatan bahkan menghitam. ''Kami minta diadakan evaluasi sebelum ada kenaikan tarif air,'' ujar Maringan. Menurutnya, hasil kerja PDAM Jaya dan dua mitra asingnya ini perlu dipaparkan secara rinci, termasuk rencana ke depan. Begitu pun dengan audit keuangan mereka. Pasalnya selama ini tidak pernah ada laporan hasil kerja mereka. Bahkan BPK pun tidak diperkenankan mengaudit. Menyikapi hal ini, Uli sebagai pemerhati hukum menyatakan, tidak sepatutnya hal ini dilakukan investor asing. BPK, kata dia, memiliki wewenang untuk melakukan audit di semua instansi. Indah Suksmaningsih, ketua YLKI, juga menegaskan ketidakadilan yang diperoleh masyarakat dari hasil kerja sama itu. Masyarakat harus menanggung utang yang dibuat oleh dua mitra PAM Jaya. Padahal utang tersebut dilakukan di akhir 80-an, namun baru dibebankan sekarang.(c34 ) Post Date : 05 Januari 2006 |