|
SAMPAH, bagi sebagian orang identik dengan sesuatu yang terbuang dan tidak berguna sama sekali. Begitu pula yang ada di benak masyarakat Kampung Sukunan, Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, Sleman, Yogyakarta. Sampah yang saban hari mengalir lewat di kampung mereka kerap membuat pusing. ''Bahkan para petani di sini sering mengeluh karena air yang mengairi sawahnya kotor karena penuh dengan sampah. Bahkan tidak jarang barang pecah belah juga ikut hanyut hingga melukai kaki mereka,'' kata seorang warga, Iswanto, yang juga Ketua Yayasan Sukunan Bersemi. Bukan saja yang dari luar, sampah yang berasal dari warga Kampung Sukunan pun menjadi masalah tersendiri. Sebab, kampung dengan 210 kepala keluarga (KK) itu tidak punya lahan pembuangan akhir sampah. Mau tidak mau sampah rumah tangga warga Sukunan akhirnya dibakar yang berakibat polusi asap. Tetapi sejak tiga tahun silam, sampah bagi warga Sukunan bukan lagi sesuatu yang terbuang. Buktinya, lewat Yayasan Sukunan Bersemi yang didirikan warga Sukunan, mereka sepakat mendisiplinkan diri untuk membuang sampah secara benar. Caranya, sampah harus dipisahkan menjadi organik dan nonorganik melalui tong-tong yang sudah ditentukan di pinggir gang Kampung Sukunan. Agar terlihat indah, tong-tong sampah itu dicat warna-warni yang menawan sehingga menambah semarak kampung. Setiap dua hari sekali sampah diangkut ke sebuah rumah warga untuk diolah warga Sukunan secara mandiri sehingga menjadi bermanfaat, misalnya yang organik seperti daun dan sisa-sisa makanan nantinya akan di daur ulang untuk kompos. Sedangkan yang berbahan kertas, plastik, dan alumunium akan dijadikan barang-barang daur ulang yang cukup menarik. Bungkus-bungkus minuman kemasan plastik, misalnya, direka-reka oleh warga menjadi topi dan tas yang cukup cantik. Harganya lumayan untuk ukuran bahan sampah, yakni berkisar Rp20.000 sampai Rp50.000 per buah. Hasil penjualan itu nantinya dibagi dua, sebagian untuk upah tenaga penggarap, dan sisanya untuk kas kampung. ''Tujuan utama kami bukan cari untung, melainkan ingin menjadikan sampah tidak bermasalah lagi di daerah ini,'' kata Iswanto, sembari menolak menyebutkan total kas kampung dari hasil daur ulang sampah. Tetapi yang jelas, dari hasil usaha itu warga kini tidak terbebani lagi dengan pungutan biaya sampah Rp10.000 KK. Bahkan jika dihitung, Kampung Sukunan bisa menghemat biaya sampah sekitar Rp8 juta per tahun. ''Belum lagi ada pendapatan dari hasil penjualan kompos, tas dari bekas bungkus minuman atau kertas-kertas bekas yang uangnya untuk kas dan bisa digunakan jika ada kegiatan kampung,'' kata Iswanto. Ada gugatan Kini tak lagi didapati kampung yang kusam dan bau karena sampah. Jika masuk Kampung Sukunan, yang terlihat pemandangan yang indah, semarak, dan bersih. Bahkan hampir tidak ada sampah yang ditemui di pinggir-pinggir jalan. Tetapi semua usaha yang dilakukan warga juga mengalami hambatan. Sejumlah warga mengaku awalnya cukup sulit untuk membiasakan diri memilah-milah sampah rumah tangga mereka. ''Pada awalnya susah sekali mendisiplinkan diri untuk memisahkan sampah-sampah itu. Sampai sekarang pun kadang kala masih lupa,'' ujar seorang warga RT04/RW 13, Sri Wahyuningsih. Bukan cuma itu, ancaman gugatan dari sebuah perusahaan yang keberatan sisa bungkus produknya dijadikan bahan daur ulang juga pernah melayang ke warga. Pendamping warga Sukunan Lea Jellienek mengaku tidak habis pikir ada perusahaan yang menggugat orang yang memanfaatkan sampah untuk daur ulang. ''Kalau mereka akan gugat, kami justru akan menggugat balik. Karena produk mereka bukan saja tidak ramah lingkungan, melainkan justru merusak lingkungan,'' kata doktor Antropologi dan mantan Direktur Australia Consortium For In Country Indonesian Studies (ACICIS) itu. Amiruddin Zuhri/N-4 Post Date : 25 Oktober 2005 |