''Sanitary Landfill'' Mutlak bagi Kota Besar

Sumber:Suara Pembaruan 04 April 2005
Kategori:Sampah Jakarta
JAKARTA - Penanganan sampah di kota besar wajib menggunakan sistem sanitary landfill dengan berbagai keunggulan dan keterbatasannya. Sistem ini dianggap masih cocok dengan kondisi perkotaan dan biaya yang masih memungkinkan.

Pemusnahan sampah dengan metode sanitary landfill adalah membuang dan menumpuk sampah ke suatu lokasi yang cekung, memadatkan sampah tersebut kemudian menutupnya dengan tanah. Metode ini dapat menghilangkan polusi udara.

Sistem sanitary landfill yang menggunakan lahan lokasi pembuangan sampah bisa memaksimalkan umur penggunaan lahan hingga puluhan tahun. Selain itu, sistem ini juga dianggap masih memenuhi kualifikasi kesehatan dan lingkungan.

Deputi II Bidang Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Lingkungan Hidup Kewilayahan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) Gempur Adnan di Jakarta, Senin (4/4), di Jakarta mengatakan sejumlah kota besar wajib memiliki sistem penanganan sampah yang baik. "Sistem sanitary landfill ini masih paling cocok diterapkan di seluruh kota besar di Indonesia, kecuali Jakarta. Pembiayaan sistem ini masih bisa ditanggung dengan APBD setempat," jelasnya.

Penggunaan sistem sanitary landfill ini bisa menjadi standar dalam pengelolaan sampah di seluruh kota besar, sehingga sistem ini layak dimasukkan dalam mekanisme undang-undang yang akan mengatur tentang sampah. Penanganan sampah dengan sanitary landfill ini dianggap memenuhi kualifikasi kelestarian lingkungan. Sistem ini disinggung dalam Rancangan PP tentang Air Minum yang sedang disusun.

Sistem sanitary landfill ini akan menampung produktivitas sampah kota besar yang mencapai di atas 3.000 meter kubik per hari. Apabila jumlah sampah kota besar sudah melebihi angka 1.500 meter kubik per hari, seharusnya diterapkan sistem pengelolaan sampah yang baik.

Biaya

Lebih lanjut Adnan menuturkan, setidaknya terdapat tiga hal yang perlu dicermati dalam pembuatan sanitary landfill. Pertama, menyangkut pemilihan lokasi yang harus disesuaikan dengan karakter sanitary landfill. Kedua, bangunan dan peralatannya, dan ketiga adalah operasionalnya.

Ketiga hal tersebut harus dilakukan selaras dalam pengelolaan sampah dengan sistem sanitary landfill. "Kalau dibuat sembarangan, tidak akan ada bedanya dengan sistem sebelumnya yang akhirnya hanya jadi pembuangan sampah terbuka (open dumping)," jelasnya.

Namun, dia juga menyampaikan beberapa kendala yang ditemui, yakni faktor biaya investasi dan kinerja para petugas sampah. Mengenai biaya, menurut perhitungan Adnan, untuk 1.500 meter kubik sampah diperlukan biaya Rp 57 miliar ditambah biaya operasional dan pemeliharaan yang mencapai Rp 17 miliar.

Jumlah biaya pembangunan itu belum termasuk harga beli lahan yang diperkirakan membutuhkan lahan seluas 20-30 hektare. Operasional ini diproyeksikan untuk lahan yang minimal memiliki waktu tampung selama sepuluh tahun.

Menyiasati besarnya investasi tersebut, KLH tengah menyiapkan rancangan tempat pengolahan akhir (TPA) regional. Konsep TPA ini digunakan secara bersama-sama oleh kota-kota yang secara geografis berdekatan. "Jadi pembiayaan dan pengelolaannya akan ditanggung bersama pula," ujarnya.

Sejumlah instansi terkait dan ahli sampah sedang diajak untuk merampungkan perhitungan perkiraan seluruh biaya yang dibutuhkan dalam pembangunan TPA regional tersebut. Nantinya, hasil perhitungan tersebut akan diajukan oleh pemerintah hingga bisa dimasukkan dalam peraturan yang mengatur sampah. (K-11)



Post Date : 04 April 2005